Talkshow Pride Month – Memaknai Ulang Dukungan Jaringan bagi LGBTI di Situasi Krisis

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

Kamu sudah tahu dong kalau bulan Juni merupakan momen bersejarah bagi LGBT? Soalnya di bulan Juni, secara global ada perayaan Pride Month, momen bagi LGBT untuk melawan segala bentuk diskriminasi. Biasanya untuk merayakannya kerap ditandai dengan aksi bersama, baik aksi langsung turun ke jalan atau aksi lain melalui digital.

Akan tetapi, Pride Month tahun 2020 memang cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, selain karena Indonesia khususnya tidak kondusif bagi LGBT untuk melakukan aksi karena isu keamanan diri, di tahun ini turut terjadi pandemi global covid 19 yang mengharuskan saling jaga jarak.

Nah, dikarenakakan harus saling jaga jarak itu, akhirnya berdampak luas lho pada kehidupan sosial lainnya, khususnya bagi teman-teman LGBT. Sebagai contoh, teman-teman yang berprofesi sebagai pekerja salon akhirnya mengalami penurunan ekonomi, hal tersebut berdampak lagi pada terkendalanya akses untuk memenuhi kehidupan pokok.

Merespon situasi tersebut, Crisis Response Mechanism (CRM) mengadakan Talkshow dengan tema “Memaknai Ulang Dukungan Jaringan bagi LGBTI di Situasi Krisis”. CRM terdiri dari individu perwakilan organisasi yang merupakan pendukung dan penyelenggara Konsultasi Nasional Pertama yang beranggotakan Arus Pelangi, Sanggar SWARA, GWL Ina, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, dan UNAIDS. CRM merupakan mekanisme koordinasi di tingkat nasional yang dibentuk tahun 2017, dan bertugas untuk mengkoordinasi dan memobilisasi sumber daya di dalam pencegahan dan penanggulangan krisis.

Berhubung talkshow belum bisa dilakukan dengan bertemu fisik, maka dilakukan melalui media online. Meski demikian, antusias dari teman-teman yang mengikuti cukup besar lho! Talkshow tersebut diikuti dengan kisaran 45-60 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia.

Pengen tahu nggak sih apa aja yang dibahas di talkshow tersebut?

Jadi gini, talkshow dilakukan pada 18 Juni 2020, dengan menghadirkan empat narasumber yang terdiri dari perwakilan komunitas dan layanan. Mereka antara lain ada Rebecca Nyuei dari Jaringan Transgender Indonesia (JTID), Veni Siregar dari Forum Pengada Layanan (FPL), Nh. Handayani dari Yayasan Pulih, dan terakhir dari Aisya Humaida dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH M). Talkshow selama kurun waktu dua jam, juga dibantu oleh Irfani selaku moderator dari Steering Comiittee CRM.

Selama diskusi narasumber banyak memaparkan terkait pola krisis yang dialami oleh LGBT, mulai dari dampak, pencegahan, hingga penanganannya.

“Krisis itu juga bisa dimaknai dengan penyempitan ruang untuk LGBT, ruang aman dan ruang hidup dengan indikasi meningkatnya kerentanan.”

Kalimat di atas merupakan pernyataan dari rujukan dokumen Crisis Response Mechanism (CRM) yang disampaikan oleh Rebecca Nyuei, perwakilan dari Jaringan Transgender Indonesia ketika ditanya tentang situasi krisis yang dialami oleh LGBTI di masa pandemi covid. “Upaya yang dilakukan semenjak crackdown sudah banyak, pertama kalau dari internalnya gerakan LGBT ada banyak kolektif baru di berbagai wilayah.” Imbuh Rebecca Nyuei.

Sementara itu, Aisya Humaida dari LBH M turut menekankan bahwa pembatasan sosial berskala besar turut memberikan dampak langsung bagi tim yang turun lapangan untuk memberikan dampingan bagi komunitas yang berhadapan dengan hukum. Namun, cara-cara lain masih digunakan oleh LBH M seperti memberikan edukasi kepada masyarakat.

“Di situasi saat ini terkait penanganan kasus terbatas, ini terkait dengan social distancing, kita memberi ruang edukasi melalui program kami, sekalipun itu tidak terjun langsung.” Menurut Aisya Humaida, respon cepat dari media juga diperlukan untuk membangun gerakan masyarakat yang inklusif. “Jadi ada edukasi publik, ciptakan edukasi yang ramah dan dapat kurangi sentimen yang ada.” Tuturnya.

Berbeda dengan dua narasumber sebelumnya, pada talkshow yang berlangsung dua narasumber lainnya lebih menyoroti pada kesehatan mental di masa pandemi, serta upaya yang bisa dilakukan untuk saling “jaga teman” atau menjaga jaringan organisasi LGBTI dan lainnya.

Nh. Handayani dari Yayasan Pulih memaparkan di situasi krisis, banyak komunitas yang tidak sadar tentang kesehatan mentalnya karena menganggap bukan kebutuhan basis. Padahal menurutnya, mengalami depresi, kecemasan, dan trauma itu memiliki dampak panjang apabila dibiarkan berlarut-larut, terutama untuk kasus-kasus serius yang membutuhkan penanganan.

“Strategi yang  kami lakukan sosisalisasi di medsos dan akses layanan profesional jika mereka membutuhkannya. Kami juga sosialisasi tentang SOGIESC pada konselor dan psikolog di Yayasan Pulih sehingga ketika memberi layanan itu tidak melukai komunitas.” Ujarnya.

Nh. Handayani menyadari bahwa masih ada lembaga layanan yang belum ramah terhadap komunitas LGBTI, oleh karenanya memetakan organisasi yang punya payung isu yang sama, dan melakukan advokasi kebijakan itu penting.

Terakhir adalah pernyataan Veni Siregar dari FPL yang menceritakan pengalamannya berproses bersama teman-teman dari jaringan organisasi LGBTI. Menurutnya organisasi LGBTI juga concern pada penghapusan kekerasan seksual, dan hal tersebut menjadikan organisasi LGBTI dan layanan/pada isu perempuan menjadi saling terkait. Meskipun pada implementasinya keterkaitan tersebut banyak menemukan tantangan, akan tetapi harapnya jangan menjadi pemecah jaringan.

“Di FPL kita juga diskusikan ke anggota, memperkuat anggota agar ada pemahaman terkait LGBT, agar cedera allies itu tidak terjadi, karena ini bagian memecah kawan.”

Selain melakukan diskusi di internal, Veni Siregar juga melakukan pendokumentasian kasus kekerasan pada teman-teman komunitas khususnya LBT. Menurutnya bicara LGBTI juga bicara tentang HAM, sehingga apabila ada hak yang dilanggar, maka jaringan bisa melakukan advokasi bersama-sama.

Wuuuiih, gimana diskusinya? Seru banget kan gaes! Ngetiknya aja sampai berdebar-debar lho.

Pada dasarnya, seluruh narasumber sepakat untuk memaksimalkan kerja-kerja jaringan itu dengan memperbanyak ruang dialog lintas isu. Jaringan di luar  organisasi LGBTI dapat menjadi sistem pendukung bagi komunitas tidak hanya di masa krisis namun untuk perubahan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan berpotensi mengkriminalkan.

Penulis: Ino Shean

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

RECENT ARTICLESS