Talkshow Pride Month – Melirik Bissu Dulu, Sekarang dan Nanti

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

“Mau’ni woroane mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui. Mau’ni makkunrai na waroane sipa’na, woroane-mui (Meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki” -Pepatah Bugis

Ungkapan di atas adalah kalimat yang mengantarkan kita untuk menilik bagaimana kondisi komunitas Bissu di Indonesia. Apakah ungkapan tersebut masih diamini atau justru dianggap tidak lagi relevan oleh masyarakat Indonesia pada situasi saat ini?

Selama ini kita sering sekali menggaungkan bahwa Indonesia kaya dengan keberagaman identitas gender,  salah satunya adalah Bissu, tetapi jarang sekali kita memberikan ruang bagi mereka untuk menyampaikan  yang mereka alami, serta yang mereka cita-citakan sebagai bagian dari budaya Indonesia.

Berangkat dari kondisi di atas, Koalisi Crisis Response Mechanism (CRM) dan Jaringan Transgender Indonesia (JTID) menggelar talk show online Pride Month pada 17 Juni 2020 yang salah satu topiknya adalah Eksistensi Bissu dalam Budaya Indonesia, hadir sebagai narasumber adalah Bissu Angel dan Bissu Eka.

Dalam masyarakat Bugis, Bissu adalah indentitas gender yang berada di tengah empat identitas gender lainnya yaitu Bura’ne (Laki-laki), Makunrai (Perempuan), Calabai (Transpuan/Waria) dan Calalai (Tomboi). Dahulu, Bissu memiliki peranan penting dalam kepercayaan dan spiritual sebagai penghubung antara manusia dan dewa. Sehingga, pada zaman kerajaan Bissu dilindungi oleh Raja serta diberi amanah dalam menjaga pusaka kerajaan (arajang).

Hingga hari ini, peran Bissu yang masih terus ada adalah pada upacara Mapalili atau ritual turun sawah. Ritual ini dilakukan pada saat memulai menanam padi yang bertujuan untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang mengganggu.

”Ritual Mapalili, saat ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Bugis, paling di daerah Pangkep, khususnya Kecamatan Segeri yang masih sering melakukan, karena masyarakat di sana yang masih cukup percaya terhadap peran bissu” ungkap Bissu Eka saat menyampaikan kondisi Bissu di era saat ini.

Pergeseran peran Bissu tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adalah peristiwa Operasi Taubat yang dipimpin oleh Kahar Muzakar melalui gerakan separatis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1965, yang menumpas dan menculik kelompok Bissu, Calabai dan Calalai untuk ditobatkan menjadi perempuan dan laki-laki sesuai ajaran Islam yang biner. Banyak kelompok Bissu yang memilih mati dibunuh daripada harus dipaksa mengubah identitasnya.

“Faktor modernisasi, agama, medis, teknologi hingga persoalan isu kesejahteraan bissu itu sendiri juga menyebabkan pergeseran peran Bissu saat ini. Banyak Bissu yang memilih menjadi calabai karena harus mencari pekerjaan dan memenuhi kehidupan seharian.” Lanjut Bissu Angel.

Saat ini, perhatian pemerintah terhadap keberadaan Bissu juga semakin berkurang. Hanya beberapa pemerintah daerah yang sering menggunakan peran Bissu dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan pemerintahan. Seperti Pemerintahan di Kabupaten Bone, sering melibatkan Bissu untuk penjemputan tamu kehormatan pemerintah serta ritual Arajang. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah juga turut ambil andil dalam melakukan kekerasan terhadap kelompok Bissu. Misalnya, kejadian pembubaran Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) Waria-Bissu se-Sulawesi Selatan pada 19 Januari 2017 lalu yang diselenggarakan di Kabupaten Soppeng. Peristiwa ini menunjukan bahwa komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melindungi kelompok Bissu sebagai bagian dari Budaya Indonesia masih sangat rendah. Tak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat Indonesia saat ini yang melihat keberadaan Bissu dianggap sebagai kelompok yang tidak sesuai dengan norma, moral dan agama.

“Hanya sedikit masyarakat yang masih percaya dengan Bissu dan yakin dan percaya dengan kelebihan Bissu sebagai Sandro (pemimpin ritual budaya).” Ungkap Bissu Eka.

Saya memohon penuh harap kepada pemerintah, masyarakat, pemerhati budaya. Marilah anggap kami sebagai masyarakat yang sama seperti yang lain. Kami juga punya hak untuk hidup berdampingan dengan masyarakat dengan mensyukuri apa adanya kami. Bisa menghirup udara yang sama seperti yang lain.” Pernyataan Bunda Angel mewakili cita-cita kita semua yang masih percaya bahwa identitas gender itu beragam dan Indonesia memilikinya.

Hal yang bisa kita lakukan adalah terus mengkampanyekan keberagaman identitas gender ini hingga dari generasi ke genarasi. Seperti ungkapan Bissu Eka “Saya bersyukur dengan adanya acara ini, kami bisa menyampaikan hal-hal terkait Bissu untuk menjadi acuan bagi generasi kedepan. Sehingga kami tidak menjadi generasi terkahir Bissu di Indonesia.”

Mari kita wujudkan bersama mimpi dan harapan para Bissu yang sangat kita hormati, sehingga kembali bisa dihormati dan kembali mendapatkan peran dan ruang mereka sebagai penjaga kelestarian budaya Negara Indonesia kita tercinta.

Penulis: Ichon

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

RECENT ARTICLESS