LGBTI Bicara Media

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

Diskusi sepekan IDAHOBIT 2020 yang diadakan oleh Arus Pelangi (AP) melibatkan Luviana dari konde.co untuk menjadi moderator dan berdiskusi dengan narasumber perwakilan Provinsi Aceh, Sulawesi Selatan, dan Papua. Diskusi ini merupakan topik kedua yang membahas tentang LGBTI di media. Selama proses diskusi, turut dibahas tentang harapan teman-teman LGBTI terhadap pemberitaan di media.

Diskusi pada 11 Mei 2020 dimulai dengan pembahasan cara media memandang LGBTI di Indonesia. Berdasarkan paparan Luviana, ada persoalan media menulis berita LGBTI dari perspektif agama, dan normatif. Meski demikian, ada pula tulisan-tulisan kritis yang membongkar persoalan hak hidup LGBTI, dengan menggunakan ruang baru seperti  sosial media, sebuah ruang untuk LGBTI melakukan kampanye walau ada sejumlah persoalan.

Ino selaku perwakilan Sulawesi Selatan memandang media seperti dua sisi koin atau mata uang yang bisa menguntungkan tetapi juga dapat merugikan untuk komunitas. Penelitian tahun 2019 yang dilakukan oleh Komunitas Sehati Makassar ditemukan ada 81% pemberitaan yang isinya negatif dan hanya 8,3% yang positif, selebihnya netral.

“Media masih punya perspektif yang rendah terhadap keberagaman SOGIESC dan HAM. Pemberitaan negative terjadi di tahun 2016 ada banyak statement kebencian di nasional itu dampaknya hingga daerah. Aksi penolakan  yang mengatasnamakan agama juga beraksi di Sulawesi selatan.” Ujar Ino.

Sedangkan perwakilan dari Provinsi Aceh, yaitu Citra dari komunitas Tarena menceritakan bahwa media sangat mempengaruhi masyarakat untuk membangun kebencian pada kita semua (LGBTI), dengan pemberitaan negatif sehingga kekerasan verbal itu terus muncul karena turut dikampanyekan orang pengambil keputusan di daerah.

Menurut Citra, media masih belum memberikan berita positif terkait keberadaan yang positif pada LGBTI. Sebagai contoh, penangkapan LGBTI di tahun 2018 yang terjadi di Aceh Utara di publikasikan ke media sehingga banyak masyarakat berfikir LGBTI wajar disiksa dan dibunuh. “Kita sebagai manusia beranggapan sebagai warga Negara Indonesia, kita punya hak untuk menjadi warga Negara yang lebih baik sama seperti yang lainnya. Kita tidak mau dijadikan alat politik disaat orang mau punya kedudukan.” Imbuh Citra.

Terakhir, merupakan penjelasan dari Lolita (ROJALI) dari Papua yang menyinggung pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurutnya pelanggaran tersebut berangkat dari kebertubuhan dan ekspresi. Ketika dari KPI melarang mungkin yang terpikirkan adalah melindungi anak-anak, namun yang patut disayangkan adalah kebanyakan orang tidak bisa membedakan perilaku menyimpang dengan LGBTI.

Menyikapi situasi tersebut, upaya yang dilakukan Lolita bersama dengan komunitas Rojali ialah menulis di jurnalis warga kota sebelum dipublikasikan, sehingga melalui media tersebut ada latihan yang terbangun di tataran komunitas dan jurnalis.

Dari diskusi yang dilaksanakan, rupanya ada sejumlah persoalan seperti regulasi penyiaran yang bermasalah yang mempengaruhi konten dan kebijakan redaksi di media memandang soal LGBTI. Akan tetapi tetap ada peluang baru di sosial media yang bisa digunakan meskipun dengan berbagai catatan.

Sebagai penutup, teman-teman narasumber tetap optimis bahwa ke depannya akan ada berbagai media progesif yang memberitakan secara positif tentang LGBTI. Harapan tersebut muncul di era saat ini dengan banyaknya media alternatif yang memberikan informasi tentang keragaman gender dan seksualitas di Indonesia.

Oleh : Echa Waode

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

RECENT ARTICLESS