Dalam rangka memperingati IDAHOBIT 2020 di bulan Mei, Arus Pelangi (AP) mengadakan serangkaian diskusi online dengan mengusung berbagai tema diskusi yang menarik. Diskusi tersebut turut melibatkan jaringan kerja yang kerap memberikan dukungan terhadap kerja-kerja yang dilakukan oleh AP untuk komunitas.
Pada 9 Mei, dan sekaligus menjadi pembuka kegiatan, AP mengusung topik diskusi berjudul Hak Kerja LGBTI, Omnibus Law, dan Dampak Covid terhadap LGBTI. Topik tersebut dipilih karena cukup relevan dengan situasi saat ini, menyoroti tentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah, pemilik modal dan keberpihakan pada kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Meskipun diskusi dilangsungkan pada hari Sabtu, antusias teman-teman sangat baik lho! Ada kisaran 30-40 peserta yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia aktif untuk mengemukakan pendapat.
Hadir sebagai narasumber ialah Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika, dan Echa Waode dari Arus Pelangi. Masing-masing menceritakan pengalaman, pengetahuan, serta aksi-aksi yang selama ini sudah dilakukan.
Sebagai organisasi, Arus Pelangi dan Perempuan Mahardhika memang cukup gencar untuk mengkampanyekan tolak RUU Omnibus Law. Menurut Mutiara Ika, semangat Omnibus Law ialah eksploitasi, sehingga kelompok dengan kerentanan tertentu akan semakin rentan. Apabila dikaitkan dengan pandemi covid, dampak nyata yang dirasakan seperti pemutusan hubungan kerja yang terjadi secara massal dan di rumahkan tanpa ada gaji yang dibayarkan.
“Kebijakannya harus di rumah tetapi ketika di rumahkan pengusaha tidak mau membayar upahnya. Hal ini tidak bisa disikapi secara tegas oleh pemerintah.” Ujar Mutiara Ika ketika ditanya pendapat terkait Omnibus Law dan Dampak Covid.
Ketika digali lebih dalam kaitan antara Omnibus Law dan Hak Kerja LGBTI khususnya, Mutiara Ika juga menuturkan bahwa Omnibus Law itu tidak bisa dilihat pasal per-pasal saja. Menurutnya Omnibus Law menyasar secara umum, tidak spesifik pada LGBTI, akan tetapi dijelaskan juga bahwa RUU tersebut bisa saja menyengsarakan identitas tertentu, karena dengan kondisi saat ini kita seolah tidak diberikan waktu untuk memikirkan tentang seksualitas, namun dipaksa untuk bekerja dengan aturan yang eksploitatif. Dari kondisi itulah tantangan yang dihadapi menjadi beragam, pertama melakukan advokasi kebijakan yang diskiriminatif dan kedua melakukan edukasi terkait seksualitas LGBTI.
Bagi Mutiara Ika, jika bicara tentang hak kerja, penting juga untuk keluar dari pembagian sektor kerja formal dan informal. Berdasarkan pengalamannya, kerja yang di sektor formal juga tak luput dari relasi informal, contohnya orang bekerja di sebuah perusahaan, akan tetapi kerap lembur tanpa dibayar.
Pendapat serupa juga datang dari Echa Waode, sebagai orang yang aktif turun lapangan bertemu dengan komunitas, menurutnya teman-teman LGBTI khususnya transpuan berada di garis depan sebagai orang yang terdampak. Menurutnya, sebelum pandemi covid, transpuan masih sulit memilih dan mengakses pekerjaan, yang tersedia sebatas profesi kerja di salon, ngamen, dan pekerja seks. Akan tetapi pasca pandemi pendapatan mereka turun hingga 80%, dan demi keberlangsungan hidup mereka bahkan mensiasati dengan tinggal beramai-ramai untuk menekan biaya tempat tinggal.
Dikarenakan kondisi tersebut, Echa menjadi salah satu relawan perwakilan organisasi bersama dengan komite nasional lainnya untuk mendata dan memberikan bantuan kepada komunitas yang terdampak. Upaya lain yang dilakukan juga turut melakukan kampanye dan advokasi pada RUU Omnibus Law, agar tidak meningkatnya kerentanan yang harus dialami oleh LGBTI.
“Teman-teman LGBTI kerap didiskriminasi karena eskpresi dan orientasi seksualnya, yang sudah kita lakukan adalah advokasi teman-teman LGBTI bersama jaringan untuk menolak RUU Cilaka ini.” Imbuhnya.
Nah, tidak lupa juga, narasumber turut mengingatkan selama pandemi berlangsung ada baiknya memperkuat kolektif dan memiliki support system. Saling menjaga merupakan salah satu bagian dari merawat kesehatan mental di masa pandemi. Upaya lain yang bisa dilakukan ialah tetap aktif melakukan kampanye dan edukasi di ruang-ruang aman.
Penulis: Ino Shean