Di tengah-tengah musibah yang melanda Indonesia, mulai dari bencana Tsunami, gempa bumi, tanah longsor, banjir, korupsi, kecelakaan transportasi umum, sampah, busung lapar, konflik horizontal antar masyarakat, penyakit menular, pembunuhan yang dilakukan oleh otoritas Negara, serta kemiskinan, yang telah memakan ribuan korban manusia, minimal ada satu hal yang patut kita banggakan, yaitu diluncurkannya Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in Relation to Sexual Orientation and Gender Identity, atau yang lebih dikenal dengan Yogyakarta Principles, pada tanggal 26 Maret 2007.
Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa belum lama ini, tepatnya tanggal 6 sampai dengan tanggal 9 Nopember 2006 yang lalu, 29 orang ahli hukum HAM Internasional berkumpul di Yogyakarta untuk merumuskan sekumpulan prinsip yang patut dipatuhi oleh suatu Negara terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Sekumpulan prinsip itulah yang dinamakan Yogyakarta Principles. Yang lebih menarik, ada satu perwakilan dari Indonesia yang berasal dari kalangan akademisi yang ikut menandatangani dokumen tersebut, yaitu Rudi Mohammed Rizki, Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung.
Perumusan Yogyakarta Principles merupakan sebuah kemajuan yang cukup signifikan dalam hal upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transseksual (LGBT). Apalagi sekumpulan prinsip tersebut dirumuskan di sebuah negara yang sampai dengan saat ini belum mengakui identitas politik kelompok LGBT. Hal tersebut menandakan keseriusan dari para perumus sekaligus penandatangan untuk terus mengkampanyekan pentingnya upaya menghilangkan segala bentuk diskriminasi berbasiskan orientasi seksual dan identitas gender, serta pemenuhan dan perlindungan hak-hak LGBT di negara-negara yang belum mengakomodir hak-hak mereka. Karena semangat non-diskriminasi serta inisiasi dari The International Commission of Jurists dan The International Service for Human Rights, dua buah Lembaga Internasional yang berbasis di Jenewa, Swiss, maka Yogyakarta Principles ini berhasil dirumuskan.
Dokumen tersebut sangat berguna bagi Negara-Negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Hal itu disebabkan karena ada 29 prinsip yang dirumuskan dalam Yogyakarta Principles yang terkait dengan hak-hak masyarakat yang mempunyai orientasi seksual dan identitas gender berbeda. Selain itu diatur pula kewajiban Negara untuk memenuhi hak dasar kelompok masyarakat yang mempunyai orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda tersebut. Semua hak dan kewajiban yang terkandung di dalam Yogyakarta Principles berkaitan dengan kedua kovenan internasional yang telah dijelaskan di atas.
Peluncuran Yogyakarta Principles sangat tepat waktunya karena saat ini sedang dibahas sebuah RUU di DPR-RI, yaitu RUU Anti Diskriminasi Terhadap Ras dan Etnis (RUU ADRE). Dari wacana yang berkembang seputar pembahasan RUU ADRE, ada desakan dari kelompok masyarakat minoritas kepada anggota Pansus RUU ADRE untuk menganti judul dan memperluas pembahasan RUU ADRE. Sehingga diharapkan RUU tersebut juga dapat mengakomodir kepentingan kelompok masyarakat minoritas lainnya, seperti kelompok LGBT, kelompok difable, kelompok agama minoritas, kelompok penganut kepercayaan, dan kelompok minoritas lainnya.
Secara ideal memang RUU ADRE harus diperluas pembahasannya. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal seperti 1). RUU ADRE akan menjadi suatu bentuk diskriminasi baru apabila hanya megatur hak-hak kelompok rasial dan etnis saja; 2). RUU ADRE akan melanggar ketentuan perundang-undangan lainnya apabila tidak diperluas pembahasannya, seperti Pasal 5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang mengharuskan Pemerintah untuk melebihkan pemenuhan hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan; 3). RUU ADRE harus dapat dijadikan pedoman hukum yang dapat menjerat para pelaku tindakan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat rentan (minoritas).
Di dalam Yogyakarta Principles kita dapat melihat hak-hak yang harus dipenuhi oleh suatu negara tanpa memandang perbedaan orientasi seksual ataupun identitas gender seseorang, seperti hak untuk tidak disiksa dan hak atas suatu pekerjaan. Perumusan hak-hak tersebut sangat penting mengingat selama ini masih banyak kasus-kasus kekerasan yang menimpa kelompok LGBT dan belum diakomodirnya hak atas pekerjaan di sektor formal bagi LGBT, terutama bagi kaum waria (transgender/transseksual).
Dengan dipublikasikannya Yogyakarta Principles diharapkan para anggota DPR-RI, khususnya semua anggota Pansus RUU ADRE, dapat melihat sekumpulan prinsip ini sebagai suatu kaidah hukum yang harus diperhatikan dan diakomodir di dalam RUU ADRE. Sehingga pada akhirnya RUU ADRE akan diperluas pembahasannya meliputi pemenuhan semua hak kelompok minoritas, termasuk LGBT. Dan semua diskriminasi terhadap kelompok minoritas dapat dihapuskan dari bumi Indonesia.
Rido Triawan – Ketua Arus Pelangi
Jakarta, 25 April 2007