Bulan Juni adalah bulan yang spesial bagi komunitas LGBTQ di seluruh dunia. Di antara kita mungkin banyak yang melihat status para selebgram,aktivis, ataupun selebritis baik nasional maupun internasional yang memberikan postingan khusus mengenai PRIDE Month. Namun PRIDE Month sebenarnya lebih dari sekadar postingan di media sosial saja, karena sejarahnya tidak se-colorfull bendera pelangi serta memiliki perjuangan yang cukup mendalam bagi komunitas LGBTQ untuk memerangi stigma dan diskriminasi.
Sejak tahun 1970, bulan Juni diperingati sebagai momen untuk merayakan Pride Month. Perayaan ini dilakukan sebagai bentuk peringatan perlawanan komunitas LGBTQ terhadap polisi yang terjadi di Stonewall Inn, New York.
Stonewall Inn adalah nama sebuah bar di Christopher Street yang menjadi tempat khusus bagi komunitas gay, lesbian, crossdresser untuk berkumpul. Pada masa itu, mereka tidak diperbolehkan berkumpul, dan bar-bar yang ada tidak boleh menyajikan minuman beralkohol ke laki-laki atau perempuan LGBTQ. Sehingga untuk bisa berkumpul di tempat umum, muncullah bar-bar seperti Stonewall Inn.
Pada 28 Juni 1969, terjadi penggerebekan oleh polisi terhadap komunitas LGBTQ yang ada di Stonewall Inn. Ini bukanlah kali pertama polisi melakukan penggerebekan di gay bar, namun pada hari tersebut, komunitas gay memilih untuk melawan, dan kerusuhan selama tiga hari pun terjadi.
Kerusuhan di Stonewall Inn bukanlah perlawanan pertama komunitas LGBTQ, namun merupakan perlawanan yang terbesar pada masa itu dan mendapat sorotan publik dan media yang sangat besar, serta dianggap sebagai titik balik pergerakan LGBTQ.
Marsha P. Johnson adalah seorang transgender perempuan yang pertama kali melempar batu ke Stonewall Inn. Aksinya ini membangkitkan semangat perlawanan kelompok LGBTQ.
Di tahun 1970, Marsha P. Johnson kemudian mengorganisir sebuah parade kecil sebagai wadah aspirasi kelompok LGBTQ di New York. Parade tersebut menjadi cikal bakal aksi yang kita semua kenal dengan Pride Parade.
Di Indonesia Pride Parade belum dapat dilakukan secara terbuka seperti di Amerika Serikat. Hal tersebut karena masih banyaknya tekanan yang dilakukan baik oleh masyarakat ataupun pemerintah pada komunitas LGBTQ di Indonesia. Namun komunitas dan organisasi LGBTQ di Indonesia tetap merayakan Pride Month dengan mengadakan acara-acara seperti diskusi publik, berbagi pengetahuan dan informasi di media sosial, dan ikut meramaikan berbagai parade seperti International Women’s Day, Women’s March, dan/atau Labour Day atau Hari Buruh dengan tetap mengibarkan bendera pelangi bersama teman-teman feminis dan para buruh atau aktivis yang bergerak di isu lain.
Di tahun 2020, sebagai bentuk perayaan Pride Month di Indonesia, berbagai organisasi LGBTIQ turut mengadakan kegiatan berupa diskusi online. Salah satu diskusi yang melibatkan Arus Pelangi yaitu talkshow online dengan tema “Memaknai ulang dukungan sekutu terhadap LGBTQ di situasi krisis”. Acara ini terselenggara atas kerjasama koalisi yang terdiri dari individu-individu perwakilan organisasi yang merupakan pendukung dan penyelenggara Konsultasi Nasional Pertama. Adapun anggota yang terlibat yaitu Arus Pelangi, Sanggar SWARA, GWL Ina, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, dan UNAIDS. Koalisi ini dikenal dengan nama Crisis Response Mechanism (CRM). CRM dibentuk pada tahun 2007 untuk mengkoordinasi dan memobilisasi sumber daya dalam pencegahan dan penanggulangan krisis, terutama pada masa-masa seperti pandemi ini. Dan dari nama-nama di atas, kita dapat melihat bahwa koalisi ini tidak hanya diisi oleh organisasi LGBTQ saja, namun ada juga organisasi sekutu. Memang, pandemi ini tampaknya dapat menyatukan kita semua untuk saling berpegangan tangan dalam menghadapi masa-masa kritis ya.
Penulis : Rozi