RUU ADRE : Bentuk Diskriminasi Baru

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

Inisiasi pembahasan RUU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU ADRE) telah diprakarsai oleh anggota DPR-RI periode 1999-2004. Kemudian pada pertengahan September 2005, DPR-RI periode 2004-2009 mengambil inisiatif melalui sidang paripurna untuk membahas RUU ADRE. Usulan inisiatif kedua bagi RUU ADRE dikemukakan di dalam sidang paripurna. Kemudian DPR-RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari perwakilan seluruh fraksi.

Di dalam perjalanannya, Pansus RUU ADRE telah tiga kali berganti kepemimpinan dan saat ini para anggota Pansus RUU ADRE baru selesai melakukan studi banding ke dua negara, yaitu Cina dan AS. Memang pembahasan RUU ADRE ini dilatarbelakangi oleh maraknya konflik horisontal antar ras dan etnis yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Selain itu, RUU ini merupakan turunan dari Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 29 Tahun 1999.

Pada kenyataannya, persoalan diskriminasi tidak hanya dialami oleh kelompok ras dan etnis saja. Masih banyak kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang selama ini masih mengalami perlakuan-perlakuan ataupun tindakan- tindakan diskriminatif, baik dari Negara, dalam hal ini Pemerintah, maupun dari masyarakat sendiri. Contohnya adalah kelompok agama minoritas, kelompok penganut kepercayaan, kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/Transsexual (LGBT), kelompok difable, dan kelompok masyarakat miskin. Bahkan sangat sering kita melihat segala bentuk diskriminasi tersebut menyebabkan terjadinya konflik horisontal, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat massal.

Sehingga ketika DPR-RI hendak membahas ataupun memberlakukan sebuah RUU, ada beberapa asas hukum yang harus diperhatikan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas yang pertama yang harus diperhatikan adalah asas pengayoman. Asas tersebut mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

Dalam praktiknya apabila RUU ADRE tidak diperluas cakupannya maka RUU ADRE akan melanggar asas pengayoman. Hal itu disebabkan karena RUU ADRE akan menimbulkan kecemburuan sosial, terutama di kalangan kelompok marginal lainnya yang selama ini belum diakomodir oleh Negara hak- hak dasarnya. Dan pada akhirnya kecemburuan sosial yang memuncak, dan apabila ditambah dengan provokasi-provokasi yang efektif, maka akan ada kemungkinan terjadi konflik horisontal.

Asas kedua adalah asas kemanusiaan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

Padahal di dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dinyatakan definisi diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sehingga apabila RUU ADRE dipaksakan untuk diberlakukan, maka RUU itu akan menjadi sebuah alat yang mendiskriminasikan kelompok lain diluar kelompokras dan etnis.

Kemudian di dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah ditegaskan bahwa setiap kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat rentan, harus dilebihkan pemenuhan haknya oleh Negara. Sehingga apabila kita berbicara kelompok masyarakat rentan, tidak hanya kelompok rasial dan etnis saja yang harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi, tetapi semua kelompok masyarakat rentan, bahkan setiap warga negara, harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi. Sehingga dengan demikian RUU ADRE juga melanggar asas kemanusiaan karena hanya mengatur larangan diskriminasi secara partial, yaitu hanya terhadap kelompok rasial dan etnis saja.

Asas ketiga yang harus diperhatikan adalah asas bhineka tunggal ika yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Berdasarkan asas di atas, RUU ADRE jelas melanggar asas Bhineka Tunggal Ika karena hanya mengakui keberagaman ras dan etnis saja. Sedangkan keberagaman-keberagaman lainnya, seperti keberagaman agama, kepercayaan, orientasi seksual, gender, status sosial, keyakinan politik, dan keberagaman lainnya tidak diakui di dalam RUU ADRE.

Asas keempat adalah asas keadilan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengakomodir hak-hak kelompok rasial dan etnis saja, dengan  sendirinya RUU ADRE tidak dapat mengakomodir hak-hak setiap warga negara. Dengan demikian maka RUU ADRE tidak akan membangun rasa keadilan terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak semua kelompok masyarakat rentan pada khusunya, dan setiap warga negara pada umumnya.

Sebenarnya masih ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh setiap pembuat legislasi. Namun dalam hal ini asas terakhir yang harus diperhatikan adalah asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Asas ini mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengatur larangan segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok rasial dan etnis saja, maka dengan sendirinya RUU ADRE juga melanggar asas hukum ini.

Dari pemaparan di atas, jelas bahwa Pansus RUU ADRE harus mengganti  judul dan memperluas pembahasannya. Selain itu juga harus ada perumusan sanksi yang tegas bagi setiap pelaku tindakan diskriminasi, baik yang bersifat administratif maupun yang bersifat pidana. Sehingga RUU ADRE nantinya dapat dijadikan sebagai payung hukum yang dapat menjawab segala persoalan diskriminasi selama ini, baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam bentuk perlakuan. Dan akhirnya segala bentuk diskriminasi dapat dihapuskan dari bumi Indonesia ini.

Jakarta, 25 April 2007

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

RECENT ARTICLESS