Penghormatan hak-hak manusia (human rights) tampaknya sudah diterima sebagai bagian dari pikiran bangsa Indonesia. Banyak kalangan masyarakat menjalankan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan isu hak-hak manusia seperti diskusi, seminar, lokakarya, pelatihan, demonstrasi menuntut hak dan mengajukan gugatan pelanggaran hak-hak manusia (human rights violation) serta merekomendasikan perbaikan kondisi hak-hak manusia.
Negara Republik Indonesia (RI) juga sudah menjadi salah satu dari Negara-negara peserta (state parties) karena sudah menandatangani dan meratifikasi sebagian perjanjian internasional hak-hak manusia (international human rights treaties) yang utama sebagai bagian dari hukum dan kebijakan nasionalnya. Dengan demikian, RI terikat secara hukum dan kebijakan dalam menunaikan kewajiban (obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak manusia. Satu kewajiban tambahan adalah mempromosikan (to promote) hak-hak manusia supaya dapat diketahui oleh publik.
Selain itu, di pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan secara rinci mengenai penghormatan terhadap hak-hak manusia. Bahkan, RI berusaha mengakomodasi kebutuhan keadilan bagi korban yang menderita karena suatu kejahatan serius (serious crime)–kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida (genocide)–melalui UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Perjuangan hak-hak manusia di berbagai daerah juga ditandai dengan kemunculan sejumlah organisasi atau lembaga yang berkaitan dengan advokasi hak-hak manusia. Dan pada 10 Desember setiap tahunnya, dirayakan sebagai hari hak-hak manusia melalui kegiatan kampanye, pawai, atau demonstrasi turun ke jalan oleh berbagai kalangan masyarakat baik di Jakarta maupun di daerah. Media sosialisasi tentang isu hak-hak manusia pun dapat diakses melalui situs internet dari banyak organisasi atau banyak lembaga.
Pada dasarnya seluruh pelanggaran hak-hak manusia harus senantiasa diingat dan menjadi pelajaran untuk memperbaiki supaya hak-hak manusia lebih dihormati, dapat dilindungi, dan dipenuhi sebagai pelaksanaan kewajiban Negara. Sebaliknya, mereka yang menjadi korban dan prihatin atas berbagai peristiwa pelanggaran itu untuk ambil bagian dalam menggugat tanggung jawab negara (state responsibility).
Tidak terkecuali dengan pelanggaran hak orang-orang dengan orientasi seksual dan/atau identitas gender berbeda, seperti lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks (LGBTI). Pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI ini seringkali dibiarkan saja terjadi. Bentuk pelanggaran haknya bermacam-macam; mulai dari tindakan stigmatisasi, diskriminasi sampai dengan kekerasan yang berakhir pada kematian. Yang dialami oleh sebagian besar kelompok LGBTI, baik di Indonesia, maupun di sebagian besar negara di dunia, merupakan pelanggaran hak- hak pokok. Ketiga tindakan itu kemudian menimbulkan pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI yang lebih kompleks, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pada akhirnya semua pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI itu akan mempengaruhi seluruh sendi kehidupan individu-individu LGBTI itu sendiri.
Di dalam konteks Negara RI, sebagian besar individu LGBTI yang hidup di Indonesia merupakan warga Negara Indonesia (WNI) yang sah. Sesuai dengan hukum hak-hak manusia Internasional, Pemerintah RI harus taat kepada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan semua kovenan internasional tentang hak-hak manusia yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI. Beberapa kewajiban pokok dari pemerintah adalah mengakui, mempromosikan, memenuhi, dan melindungi hak-hak warga negaranya serta menghukum setiap pelaku pelanggaran hak sesuai dengan hukum hak-hak manusia internasional. Dan dikarenakan orang-orang LGBTI juga banyak yang menjadi WNI, maka pemerintah RI tidak dapat membiarkan pelanggaran hak orang-orang LGBTI terjadi di Indonesia atas dasar apapun. Kemudian pemerintah RI harus merumuskan produk hukum untuk menjerat dan menghukum semua pelaku pelanggaran hak-hak manusia, termasuk juga pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI.
Beberapa produk hukum di tingkat nasional maupun daerah yang mendiskriminasikan kelompok LGBTI secara langsung adalah sebagai berikut:
- Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini mengkriminalisasikan kelompok LGBTI dengan mengkategorikan kelompok LGBTI sebagai bagian dari perbuatan pelacuran.
- Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. Perda ini mengkriminalisasikan kelompok LGBTI dengan mengkategorikan kelompok LGBTI sebagai bagian dari perbuatan pelacuran2. Pemda Kota Palembang tampaknya tidak mengerti mengenai perbedaan pelacuran dengan orientasi seksual/identitas gender dan asas hukum yang berlaku di Indonesia.
- UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan ini hanya menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang heteroseksual.
- Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Perda ini mengkriminalisasikan pekerjaan-pekerjaan informal yang dilakukan oleh masyarakat miskin kota. Sehingga kelompok LGBTI di Jakarta yang mempunyai pekerjaan informal yang dikriminalisasikan oleh perda itu akan mengalami dampak langsung dari diberlakukannya perda Tibum ini.
- UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006. Kedua peraturan itu hanya mengakui identitas transseksual (waria yang telah berhasil melakukan upaya perubahan kelamin) yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan transgender (waria yang belum, sedang atau tidak melakukan upaya perubahan kelamin).
- UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang dalam penjelasannya pada Pasal 3 Huruf a mencantumkan bahwa “”persenggamaan yang menyimpang” antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual”.
Selain beberapa peraturan di atas, ada juga beberapa kebijakan pemerintah lainnya yang juga melanggar hak-hak kelompok LGBTI di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Kebijakan Departemen Sosial melalui Dinas Pembinaan Mental dan Kesehatan Sosial (Bintalkesos) DKI Jakarta yang memasukkan kelompok waria ke dalam kategori penyandang cacat. Memang kebijakan tersebut tidak tertulis, melainkan suatu kesalahan teknis yang akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Dinas Bintalkesos DKI Jakarta memasukkan waria ke dalam kewenangan Sub Dinas Penyantunan Penyandang Cacat (Sudin PPC). Ketika dikonfirmasikan kepada pihak Dinas Sosial, mereka mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena pada awalnya mereka tidak mempunyai dana untuk membuat program pembinaan terhadap kelompok waria. Maka digunakanlah dana dari program pembinaan penyandang cacat. Sudah tentu hal tersebut langsung menimbulkan opini publik yang negatif dan masyarakat pun semakin percaya bahwa kelompok waria memang merupakan kelompok penyandang cacat. Setelah itu, memang ada perubahan, dalam arti, istilah ‘penyandang cacat’ diganti dengan ‘penyandang masalah sosial’. Namun pendekatan dan perlakuan terhadap kelompok waria tidak mengalami perubahan.
Keadaan tersebut menjadi semakin parah ketika Pemerintah bersifat pasif dengan melakukan pembiaran terhadap kesalahan Dinas Bintalkesos dan tidak mengeluarkan kebijakan atau propaganda konstruktif apapun untuk melakukan counter terhadap stigma terhadap kelompok LGBTI yang ada di dalam masyarakat.
Keadaan di atas sedikit berubah pada saat ini. Dengan upaya yang gigih dari kelompok waria di Jakarta, akhirnya pada Juni 2008 secara resmi Dinas Bintalkesos DKI Jakarta menyatakan bahwa Sub Dinas yang berwenang menangani waria yang terjerat razia di jalanan adalah Sub Dinas Rehabilitasi Tuna Sosial (Sudin RTS).
Perda-perda itu memang harus segera diharmonisasikan dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika tidak, maka besar kemungkinan akan terjadi penangkapan terhadap kelompok LGBTI. Kalau ini terjadi, usaha pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia pada umumnya akan mengalami degradasi. Juga akan timbul berbagai bentuk penyelewengan dan korupsi atau tindakan sewenang-wenang berdasarkan perda oleh aparat pemda, pemkab, atau pemkot.
Pemerintah sepertinya kurang bersemangat mengeluarkan kelompok LGBTI ini dari penderitaan mereka. Kubangan diskriminasi dan intoleransi masih terus menjadi konstruksi sosial dan pandangan dominan masyarakat terhadap kelompok LGBTI. Pemerintah mungkin khawatir akan berhadapan dengan konstruksi sosial pandangan heteroseksual yang mendominasi pola pikir masyarakat. Biasanya, masyarakat melakukan stigmatisasi terhadap mereka dengan menggunakan justifikasi doktrin dan teks-teks suci keagamaan. Oleh tafsir agama konservatif, kelompok LGBTI dianggap sampah masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat mental. Parahnya lagi, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok marginal tersebut.
Pemahaman Diskriminasi dan Kekerasan
Di Indonesia kelompok LGBTI menjadi salah satu kelompok masyarakat yang terus mendapatkan diskriminasi multidimensional. Diskriminasi di sini dapat diartikan sebagai pelayanan dan/atau perlakuan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan-
/perlakuan berbeda ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut, seperti karakteristik kelamin, orientasi seksual, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karakteristik lain, yang tidak mengindahkan tujuan yang sah atau wajar.
Secara umum diskriminasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu diskriminasi langsung, yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, identitas gender, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama bagi individu-individu yang mempunyai karakteristik yang disebutkan di dalam hukum, peraturan, ataupun kebijakan tersebut. Bentuk diskriminasi yang kedua adalah diskriminasi tidak langsung, yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Pada dasarnya semua diskriminasi terhadap kelompok LGBTI disebabkan oleh stigma sosial yang dihasilkan dari doktrin dan pemahaman agama yang konservatif. Beberapa contoh diskriminasi yang sering dihadapi kelompok LGBTI di Indonesia adalah sebagai berikut:
- Diskriminasi sosial, contohnya adalah stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan, tidak adanya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal, dan kekerasan fisik maupun psikis; contohnya melempar batu kerikil ke seorang waria.
- Diskriminasi hukum contohnya adalah kebijakan Negara yang melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
- Diskriminasi politik, contohnya adalah kesempatan berbeda dalam wilayah politik praktis dan pencekalan atau tidak adanya keterwakilan politik dari kelompok LGBTI.
- Diskriminasi ekonomi, contohnya adalah pelanggaran hak atas pekerjaan di sektor formal. Seorang karyawan yang ketahuan gay atau lesbian, seringkali dipindahkan (demosi) atau dikucilkan, sedangkan waria biasanya mentah-mentah sudah ditolak saat melamar.
- Diskriminasi di bidang pendidikan juga sering terjadi; bocah-bocah yang terlihat kemayu bisa digertak dan dilecehkan habis-habisan oleh teman-teman sekolah bahkan oleh gurunya sendiri.
- Di bidang hak atas identitas, kelompok waria seringkali mengalami kesulitan memperoleh KTP atau surat identitas lainnya. Alasannya, penampilannya tidak ’sesuai’ dengan jenis kelamin yang tertera di akte kelahiran atau dokumen lainnya.
- Diskriminasi kebudayaan, contohnya adalah upaya penghapusan dan penghilangan nilai- nilai budaya yang ramah terhadap kelompok LGBTI. Contohnya, selama dasawarsa 70- 80an budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas oleh kelompok Islam garis keras, DI-TII.
Gambar yang terlihat dari contoh-contoh di atas ini adalah diskriminasi terjadi di ranah hak sipil dan politik (sipol) maupun di ranah hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Namun lebih parah lagi adalah serangkaian kekerasan yang ditujukan kepada kelompok LGBTI, khususnya kelompok waria. Berikut beberapa kejadian yang paling besar:
- Kejadian-kejadian kekerasan di Taman Lawang, Menteng – Jakarta, mencapai puncaknya pada malam 17 November 2007, saat Satpol PP melakukan aksi penjaringan yang penuh kekerasan; banyak korban waria yang terluka. Bahkan satu dari mereka tewas tenggelam di Kanal Banjir Barat; namanya Elly Susana (nama aslinya Sayep). Dia sebetulnya bukan PSK karena sudah memiliki usaha tata rias sendiri. Karena kebetulan dia berada di Taman Lawang untuk bertemu dengan waria-waria lain saat dilakukan ‘penertiban’, dia ikut menjadi korban kebengisan Satpol PP. Dalam suasana kacau-balau itu, tidak ada saksi yang melihat apakah Elly Susana meloncat ke kanal sendiri atau diceburkan oleh Satpol PP; yang pasti Elly dikenal sebagai orang yang tidak bisa berenang. Sementara, saksi-saksi mengatakan bahwa Satpol PP menimpuk waria-waria yang berada di kanal dengan batu. Mayatnya baru ditemukan keesokan hari; hasil autopsi menunjukkan adanya memar- memar pukulan.
Setelah kejadian itu kelompok-kelompok LGBT melakukan aksi protes terhadap Pemda DKI yang membawahi Satpol PP; menuntut agar hukum dijalankan atas kematiannya. Sayangnya, penegakan hukum pada kasus Elly Susana hingga kini masih berlarut-larut; Satpol PP tidak mau mengaku melakukan penertiban pada malam itu, sedangkan pihak kepolisian merasa kekurangan saksi-saksi untuk menindak Satpol PP. Komnas HAM sudah turun tangan mempertemukan semua pihak namun sampai sekarang proses hukum masih berhenti di jalan. - Rika, seorang waria, yang sering mangkal di Jl Prapanca, Jakarta Selatan, dipanggil oleh oknum Polres Jakarta Selatan seputar pencurian HP dari seorang pelanggan waria (27 Oktober 2009, malam hari). Pertama Rika didesak mengungkapkan siapa pencurinya; lalu dia dipaksa mengaku telah mencurinya sendiri. Karena tidak mengaku, Rika dibawa keluar, ke jalan sepi di samping Polres. Di sana dia disiksa selama beberapa jam oleh puluhan oknum polisi dan preman. Dia juga diolok-olok karena memakai wig dan bra. Setelah disiksa dia dikurung semalam di dalam Polres Jakarta Selatan tanpa diberikan makan dan minum. Esok harinya dia dilepas begitu saja. Kasus ini diangkat oleh aliansi LSM HAM dengan menyelenggarakan konperensi pers; Komnas HAM pun dilapori. Namun sampai saat ini belum ada penyelesaian hukumnya.
- Sebuah konferensi internasional LGBTI yang diselenggarakan di Surabaya pada 28 Maret 2010 dikecam dan kemudian diserang oleh gabungan kelompok-kelompok keagamaan garis keras, sehingga konferensi tersebut terpaksa dihentikan. Aparat kepolisian terlihat lebih takut pada kelompok-kelompok tersebut dari pada tugasnya untuk melindungi kelompok LGBTI yang hanya ingin berkumpul secara damai dan tidak merugikan pihak apapun.
- Sungguh tak terduga kalau pelatihan HAM bagi para waria bisa diserang FPI. Tapi itulah yang terjadi pada 30 April 2010 di Depok, Jawa Barat. Padahal pelatihan itu disponsori oleh Komnas HAM. Puluhan anggota FPI Depok dengan mudahnya menerobos barisan polisi yang sedang berjaga, mengobrak-abrik ruangan pelatihan, meneror para peserta waria, malah memukul seorang nara sumber. Para peserta terpaksa dievakuasi, walaupun mereka akhirnya mendapat jaminan keamanan untuk kembali ke tempat pelatihan. Namun begitu, acara malam mereka tetap diganggu, kali ini oleh Satpol PP Depok yang mengira adanya acara kontes waria dengan pakaian seksi; mereka bersikeras acara harus dihentikan. Padahal yang diperagakan adalah pakaian kebaya daerah. Dalam kasus ini, ikatan erat antara FPI, Pemda dan Satpol PP Depok sangat nampak. Pelanggaran ini sudah dilaporkan Komnas HAM ke Polda. Namun hingga kini tidak ada langkah hukum apapun.
- Pada 10 Maret 2011 dini hari terjadi penembakan terhadap para waria yang sedang mangkal di sekitar Taman Lawang (Jl Purworejo), Jakarta Pusat; dua orang mengalami luka-luka dan satu, Faisal Harahap alias Shakira, meninggal di tempat. Pelakunya tidak teridentifikasi, walaupun menurut saksi, ia sempat mengaku dirinya polisi. Kemungkinan besar motifnya adalah merampas sepeda motor seorang pelanggan dari waria. Hanya saja, upaya itu gagal karena para waria mulai membela harta si pelanggan itu. Mungkin si pelaku panik karena dikepung waria, makanya ia melepaskan tembakan. Betapa murahnya hidup seorang waria di mata seorang penjahat. Pihak kepolisian sudah berjanji akan menyidik kasus ini sampai tuntas. Lagi-lagi, belum ada langkah hukum sampai sekarang.
Organisasi Masyarakat yang garis keras
Ormas keagamaan turut menjadi penyumbang terbesar bagi kekerasan terhadap LGBTI yang terjadi di Indonesia. Kekerasan itu bisa terwujud dalam bentuk teror, ancaman, maupun kekerasan fisik. Teror terhadap konferensi LGBTI di Surabaya, terhadap pelatihan HAM untuk waria di Depok, Jawa Barat, maupun intimidasi terhadap penyelenggara Queer Film Festival di Jakarta merupakan beberapa contoh kekerasan yang dilakukan oleh kelompok keagamaan terhadap kelompok LGBTI. Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja tapi di seluruh Nusantara.
Di setiap agama diajarkan mengenai kasih, rahmat, cinta damai, toleransi maupun perdamaian. Jadi, tidak ada alasan bagi ormas keagamaan melakukan teror, intimidasi, berbuat kerusakan, apalagi melakukan kekerasan fisik terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Apa yang salah jika ada sekelompok orang mendirikan organisasi yang membela hak-hak LGBTI? Apa landasan melarang kaum LGBTI mengadakan kegiatan? Apa yang janggal jika kegiatan itu sudah mendapatkan izin dari aparat keamanan? Mereka tidak melakukan tindak pidana apapun. Mereka juga tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mengapa harus ada ancaman dari ormas keagamaan, yang berbunyi: kalau mereka nekat melakukan kegiatan tersebut, maka akan dibubarkan secara paksa?
Menutup Celah Diskriminasi dan Kekerasan
Kita patut berbangga karena pemerintahan Indonesia sudah tidak lagi sentralistik. Jika sebelumnya semua diatur Pusat, di era otonomi daerah kewenangan didelegasikan kepada kepala daerah. Kepala daerah punya wewenang besar mengatur daerahnya demi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Kepala daerah dituntut terus berinovasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki pelayanan umum seperti kesehatan dan pendidikan.
Namun, di balik sisi positif itu, ada sisi negatif yang perlu diwaspadai. Dengan otonomi penuh yang diberikan kepada kepala daerah, mereka bisa melakukan kreasi apa saja. Jika kepala daerahnya mempunyai integritas, kompetensi, visioner, dan seorang negarawan, barangkali tidak terlalu menjadi persoalan. Tapi jika kepala daerahnya otoriter, tidak punya kemampuan dan integritas, serta miskin wawasan kebangsaan, otonomi hanya akan memindahkan otoritarianisme baru di daerah. Di antara yang paling mencolok sekarang ini adalah maraknya pemberlakuan perda bernuansa agama yang cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Atas nama otonomi daerah, para kepala daerah dan DPRD bebas saja membuat peraturan. Apabila kepala daerah dan DPRD awam mengenai hak-hak manusia (human rights), maka peraturan daerah yang dihasilkan biasanya juga melanggar hak- hak manusia. Seorang kepala daerah kota Palembang, misalnya. Ketika ditanya apakah Perda No. 2 Tahun 2004 yang memasukkan kelompok homoseksual sebagai bagian dari bentuk pelacuran sehingga harus diberikan hukuman pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5 juta tidak melanggar HAM, dengan enteng kepala daerah itu menjawab. ’’Selama HAM itu positif dan tidak bertentangan dengan agama ya kita pakai. Tapi kalau bertentangan dengan agama, buat apa kita memakai HAM yang begituan. Jangan bersembunyi di balik HAM-lah. Kita ini masyarakat yang beragama,” kata Wakil Walikota Palembang kepada seorang peneliti tentang kelompok LGBTI.
Dari gambaran ini jelas bahwa seorang kepala daerah dan juga DPRD tidak paham tentang hak-hak manusia. Mereka masih beranggapan bahwa hak-hak manusia bisa berseberangan dengan agama. Selain itu, mereka juga tidak bisa membedakan antara pelacuran (suatu kegiatan seksual) dan homoseksual (suatu orientasi seksual). Padahal, keduanya sangat berbeda. Pelacuran itu perilaku seksual yang mencari kepuasan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan menerima imbalan baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Sedangkan homoseksual itu orientasi seksual, sebagaimana juga heteroseksual. Jadi, pelacuran itu bisa dilakukan siapa saja, baik homoseksual maupun heteroseksual. Dari sini jelas sekali bahwa perda ini dibuat tanpa melalui kajian akademis dan melibatkan pihak-pihak terkait. Buktinya, definisi ‘pelacuran’ seenaknya bisa dirubah/diperluas mencakupi segala hubungan seksual di luar pernikahan, dengan atau tanpa imbalan pun.
Pertanyaannya adalah mengapa perda ini bisa lolos? Mestinya, terhadap persoalan peraturan daerah, Pusat juga tidak bisa lepas tangan. Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri harus intensif berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Hukum dan HAM melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan supaya tidak bertentangan satu dengan peraturan lainnya yang lebih tinggi serta melakukan pengawasan dan pembinaan kepada kepala daerah. Sebelum diberlakukan, perda harus mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Jika memang tidak sesuai semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhinneka tunggal ika, maka perda tersebut jangan diloloskan. Jika bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka jangan disahkan. Jika peraturan itu tidak bisa diterima masyarakat, maka jangan diberlakukan. Jika melanggar hak-hak manusia, maka tidak boleh dipaksakan. Sebab, setiap kebijakan harus dilihat dari empat aspek, yaitu legalitas, sosiologis, politis, dan hak-hak manusia.
Bagaimana jika perda diskriminatif itu telanjur diberlakukan? DPRD Kota Palembang dan juga DPRD di daerah-daerah lain yang juga memberlakukan perda diskriminatif harus segera menggunakan hak inisiatif dengan membuat peraturan baru. Alangkah baiknya jika peraturan baru pengganti perda pemberantasan pelacuran seperti yang diberlakukan di kota Palembang ini digantikan dengan pemberantasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. Ini jauh lebih memberikan solusi daripada memberantas pelacuran atau mengurusi orientasi seksual warganya. Sebab, mereka menjadi pelacur biasanya karena tuntutan ekonomi. Selain itu, tidak ada bukti bahwa kelompok waria telah merusak moral bangsa seperti apa yang sering dilontarkan.
Selanjutnya, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan dan Direktorat Perlindu- ngan HAM, Departemen Hukum dan HAM harus segera menginventarisasi perda-perda mana saja yang diskriminatif dan kemudian diharmonisasikan dengan mengambil langkah-langkah kongkrit. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana jika pusat sendiri tidak paham mengenai hak-hak manusia? Atau paham tapi sengaja tidak mau tahu?
Pertanyaan ini penting dikemukakan karena ada indikasi pusat sengaja meloloskan perda diskriminatif. Tak mungkin perda itu bisa lolos tanpa sepengetahuan atau sepertujuan Menteri Dalam Negeri. Sebab, perda pertama kali diajukan oleh dinas teknis berupa draft atau rancangan terlebih dulu. Kemudian diserahkan ke Pemerintah Kota dalam hal ini bagian hukum untuk dipelajari dan disempurnakan. Setelah itu diserahkan ke legislatif dan kemudian legislatif membentuk Panitia Khusus (Pansus). Baru mereka bekerja. Hasilnya diparipurnakan lalu ditetapkan. Lalu dievaluasi pemerintah provinsi dan kemudian diserahkan ke Pusat atau Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Jadi tidak mungkin Depdagri tidak tahu. Jika memang kenyataannya seperti ini, maka benarlah adanya bahwa pemerintah tidak konsisten dalam memenuhi hak-hak manusia dan konsekuen dengan janjinya. Kalau demikian, lalu siapa yang mengontrol Depdagri atau Pusat?
Mengakui LGBTI sebagai Kelompok Sosial
Kelompok LGBTI sudah mendapat pengakuan sebagai sebuah kelompok sosial di tingkat internasional. Pada juni 2011 Dewan HAM di PBB telah menadopsi sebuah resolusi yang mengecam segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBTI, dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat. Itulah makna yang paling dalam dari kalimat utama Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi: ”setiap manusia berhak mendapat segala hak dan kebebasan tanpa pengecualian apapun”. Seharusnya menjadi pedoman bagi pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk tidak lagi menganggap kelompok LGBTI sebagai warga kelas kedua. Pada hakekatnya, kelompok LGBTI juga warga negara yang memainkan peran dan kewajiban yang sama seperti warga negara lain; mereka juga memberi kontribusi yang tidak sedikit kepada bangsa.
Oleh karena itu, pemerintah (eksekutif dan legislatif) seharusnya merumuskan kebijakan- kebijakan teknis sebagai turunan dari Konvesi Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICECSR), terutama yang terkait dengan perlindungan hak-hak kelompok LGBTI. Sebetulnya turunan- turunan itu bisa langsung dibaca di Yogyakarta Principles3. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memperluas cakupan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Ras dan Etnis (RUU PDRE). Kemudian setelah judul RUU itu dirubah, maka pemerintah harus mempelajari, memahami, dan mengaplikasikan ketentuan-ketentuan Deklarasi Montreal dan Yogyakarta Principles ke dalam RUU Penghapusan Diskriminasi itu.
Pemerintah juga harus menginstruksikan aparat penegak hukum untuk lebih serius menuntaskan kasus-kasus kekerasan dan kriminal yang menimpa kelompok LGBTI. Seharusnya aparat kepolisian tidak hanya dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku- pelaku tindak kriminal tersebut. Aparat kepolisian seharusnya dapat melengkapi dan melimpahkan berkas perkaranya kepada kejaksaan negeri setempat, mengingat banyaknya saksi mata yang melihat kejadian-kejadian tersebut. Sayangnya, aparat kepolisian tidak melalukan itu dan membiarkan pelaku-pelaku kriminal terbebas dari jeratan hukum yang setimpal atas perbuatan yang telah mereka lakukan.
Begitu pula, dengan membiarkan serangan-serangan dari kelompok keagamaan terhadap LGBTI, aparat kepolisian juga telah menciptakan presedent buruk bagi penegakan hukum dan hak-hak manusia di Indonesia, yaitu melegitimasi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama.
Ini semua belum terlambat. Mengakui kelompok LGBTI sebagai kelompok minoritas yang tidak merugikan pihak manapun dan patut dihargai hak-haknya, adalah langkah pertama menuju satu negara bebas dari diskriminasi dan kekerasan. Jika benar-benar ingin memperbaiki moral bangsa, masih banyak cara (dan sasaran) untuk melakukan itu tanpa harus beralih ke tindakan-tindakan kekerasan.
Jakarta, 8 Desember 2011
1) Naskah ini dipresentasikan di Lokakarya Nasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pada 8 Desember 2011 di Hotel Sahid, Jakarta, menjelang Hari HAM Internasional 10 Desember 2011.
2) Perda ini disahkan pada 7 Januari 2004 dan ditandatangani Walikota Palembang Eddy Santana Putra. Pasal 8 ayat 1 Perda ini menyebutkan: Pelacuran adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar, bertujuan mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Pasal 8 ayat 2: Termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah: a. homoseks. b. lesbian. c. sodomi. d. pelecehan seksual, dan e. perbuatan porno lainnya.
3) Sekelompok pakar-pakar hukum telah mengambil inisiatif untuk mengembangkan seperangkat prinsip hukum internasional atas pemberlakuan hukum internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender sehingga membawa kejelasan dan pertalian yang lebih besar terhadap kewajiban-kewajiban Negara akan hak asasi manusia. Maka pada Oktober 2006, 29 pakar terkemuka dari 25 negara dengan berbagai latar belakang dan bidang keahlian yang relevan dengan pokok persoalan hukum hak-hak asasi manusia dengan suara bulat bersepakat menyetujui Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas Hak-hak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender.