KOMNAS HAM dan Upaya Penegakan HAM

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

Pada tahun 2007 ini akan dilaksanakan pemilihan anggota Komnas HAM yang baru untuk periode 2007-2012. Pendaftaran calon anggota Komnas HAM ini akan ditutup pada tanggal 20 Januari 2007.

Apabila kita melihat kinerja Komnas HAM periode 2002-2007, terlihat jelas bahwa upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM selama ini masih jauh dari apa yang menjadi harapan masyarakat Indonesia pada umumnya, ataupun masyarakat Indonesia yang menjadi korban pelanggaran HAM pada khususnya.

Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Komnas HAM, hanya kasus Abepura saja yang dapat diajukan ke Pengadilan HAM di Makassar. Hasilnya pun tidak memuaskan karena majelis hakim pengadilan HAM Makassar membebaskan kedua terdakwa kasus pelanggaran HAM berat di Abepura tersebut. Kemudian dua kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yaitu kasus pembunuhan masyarakat sipil di Wasior dan Wamena, sampai dengan saat ini masih dijadikan sebagai
bola pingpong oleh Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya aturan yang jelas di dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM mengenai pembagian tugas dan wewenang dari kedua lembaga tersebut.

Sampai dengan saat ini, sudah tidak terhitung jumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang dipeti-eskan oleh Komnas HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM itu terdiri dari dua kriteria, yaitu kasus-kasus pelanggaran hak-hak sipil dan politik serta kasus-kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kasus-kasus tersebut dihentikan penyelidikannya oleh Komnas HAM karena memang di dalam UU 26/2000 dengan tegas dinyatakan bahwa Komnas HAM hanyalah bertugas menyelidiki kasus-kasus yang dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Sedangkan yang dimaksud sebagai pelanggaran HAM yang berat di dalam Pasal 7 UU 26/2000 hanyalah kejahatan genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kemudian di dalam Pasal 9 UU 26/2000 dijelaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: (a). pembunuhan; (b). pemusnahan; (c). perbudakan; (d). pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e). perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; (f). penyiksaan; (g). perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (h). penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i). penghilangan orang secara paksa; atau (j). kejahatan apartheid.

Revisi UU No. 26 tahun 2000

Dari beberapa penjelasan di atas terlihat bahwa memang UU 26/2000 belum dapat dijadikan sebagai solusi penegakan HAM di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, seperti sempitnya definisi pelanggaran HAM yang dapat ditangani oleh Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan Pengadilan HAM.

Apabila kita melihat ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 UU 26/2000 di atas, jelas bahwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM yang berat hanyalah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja. Sedangkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Padahal apabila kita memperhatikan kebanyakan kasus-kasus pelanggaran terhadap hakhak
sipil dan politik yang terjadi di Indonesia, biasanya dilatarbelakangi oleh pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, seperti perampasan tanah-tanah masyarakat adat yang berujung penembakan terhadap masyarakat sipil, atau pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahan transnasional yang berujung penangkapan dan penyiksaan terhadap masyarakat sipil.

Selain itu juga Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU 11/2005. Sehingga tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tidak mengakui pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan hal itu maka definisi pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam pasal 7, 8, dan 9 UU 26/2000 sudah tidak layak lagi dan sudah seharusnya pasal-pasal tersebut direvisi dengan memperluas definisi pelanggaran HAM yang berat. Sehingga nantinya definisi pelanggaran HAM yang berat tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja, namun semua pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya juga harus diakui sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang berat.

Faktor lain yang membuat UU 26/2000 tidak efektif adalah pembatasan terhadap tugas dan wewenang Komnas HAM yang hanya dapat melakukan penyelidikan terhadap kasuskasus pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam Pasal 18, 19, dan 20 UU 26/2000. Sehingga dalam praktiknya, seringkali hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dipatahkan pihak Kejagung yang di dalam undang-undang ini bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum. Pada akhirnya banyak kasus-kasus pelangaran HAM di Indonesia yang tidak sampai ke meja pengadilan dan hanya menjadi bahan dokumentasi Komnas HAM saja.

Apabila kita bandingkan fungsi Komnas HAM dalam UU 26/2000 dengan fungsi KPK dalam UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sangatlah jauh berbeda. Di dalam Pasal 6 huruf (c) UU 30/2002 dijelaskan bahwa tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Seharusnya para anggota Komnas HAM periode 2002-2007 dapat mencontoh KPK dan memperjuangkan peningkatan fungsi Komnas HAM dalam rantai proses penegakan HAM di Indonesia dengan cara membuat inisiasi revisi UU 26/2000. Namun anehnya, revisi UU 26/2000 tidak pernah dijadikan sebagai satu agenda khusus oleh anggota Komnas HAM periode 2002-2007.

Berdasarkan hal tersebut maka revisi UU 26/2000, terutama mengenai perluasan definisi pelanggaran HAM yang berat serta perluasan fungsi Komnas HAM, harus dijadikan sebagai satu agenda khusus oleh anggota Komnas HAM periode 2007-2012.

Keterwakilan Kelompok Masyarakat Rentan

Selama ini kita melihat bahwa orang-orang yang menjadi anggota Komnas HAM hanyalah orang-orang yang berasal dari kalangan praktisi hukum, pensiunan militer, dan kalangan NGO saja. Belum ada satupun anggota Komnas HAM yang berasal dari kelompok masyarakat rentan yang selalu menjadi korban pelanggaran HAM, seperti kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transseksual (LGBT) atau kelompok waria pada khususnya, kelompok adat, kelompok penghayat kepercayaan, dan kelompok masyarakat rentan lainnya.

Hal tersebut menunjukan bahwa Komnas HAM belum dapat dijadikan sebagai wadah perlindungan hak-hak kelompok masyarakat rentan. Padahal di dalam Pasal 5 ayat (3) dijelaskan bahwa “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Sehingga ketika ada anggota Komnas HAM yang memang benar-benar berasal dari kelompok masyarakat rentan yang selama ini hak dasarnya terus dilanggar, maka dimungkinkan mereka dapat mewakili kelompok masyarakat rentan tersebut dalam hal penegakan hak-hak dasar mereka dan dengan demikian konsep yang diatur di dalam Pasal
5 ayat (3) di atas dapat dijalankan.

Penjelasan di atas harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Panitia Seleksi Calon Anggota Komnas HAM untuk membuka kesempatan yang sama dan selebar-lebarnya bagi orang-orang yang berasal dari kelompok masyarakat rentan yang selama ini terus dilanggar hak-hak dasarnya, seperti waria dan penghayat kepercayaan, yang ingin menjadi anggota Komnas HAM periode 2007-2012.

Rido Triawan – Ketua Arus Pelangi

Jakarta, 20 Januari 2007

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

RECENT ARTICLESS