Jargon ‘’Keadilan untuk Semua” akan selalu mengingatkan kita pada kelompok-kelompok yang yang selama ini didefinisikan sebagai minoritas.
Tetapi, bagaimana kita memahami arti minoritas?
Selama ini, pemahaman mengenai makna minoritas lebih sering dikaitkan dengan ras, etnik, kelas, agama, bahasa dan preferensi atau orientasi seksual. Dasar yang digunakan adalah jumlah yang kecil. Bisa juga karena dianggap ‘berbeda’ dalam nilai, budaya dan cara hidup dibandingkan mayoritas atau arus utama di dalam masyarakat. Juga bisa dilihat dari faktor geografis, lokasi yang terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan, tetapi juga bisa keduanya sekaligus, jumlah sekaligus faktor geografis.
Akan tetapi, mari kita lihat fakta lain kalau kaitannya dengan jumlah.
Riset yang diluncurkan Oxfam pada Forum Ekonomi Dunia 2016 menunjukkan, aset dari satu persen orang terkaya di dunia naik dari 44 persen kekayaan global pada tahun 2009 menjadi 48 persen pada tahun 2014 dan akan menjadi 50 persen pada tahun 2016. Kalau kecenderungan meningkatnya ketimpangan ekonomi terus berlangsung, maka data itu menunjukkan, suatu saat, bisa terjadi 99 persen aset dari penduduk dunia akan akan diambil alih gabungan kekuatan modal dari satu (1) persen orang-orang terkaya dunia.
Sekarang kita lihat kondisi Indonesia. Dalam The Jakarta Post 8 Juni 2016, Winarno Zen menuliskan tentang laporan terakhir Bank Dunia, yang menyebutkan hanya 20 persen orang Indonesia memperoleh manfaat dari pertumbuhan kekayaan ekonomi selama dekade terakhir, sementara 80 persen sisanya, sekitar 205 juta orang ditinggalkan.
Laporan itu juga menyebutkan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai kira-kira 77 persen aset negeri ini. Separuh dari aset negara dimiliki oleh hanya satu persen orang terkaya di Indonesia. Konsentrasi kekayaan ini meningkat lebih cepat dibandingkan di negara-negara lain. Namun kepatuhan mereka membayar pajak jauh lebih rendah dibandingkan kepatuhan pekerja, sebelum ada program tax amnesty.
Orang-orang itu memiliki cara hidup dan nilai-nilai hidup yang khas, tetapi mereka, secara umum, memiliki posisi yang sangat kuat di berbagai sector kehidupan.
Ironisnya, Koefisien Gini Indonesia, indikator yang menunjukkan ketimpangan di negeri ini, naik dari 0,3 pada tahun 2000 menjadi 0,4 pada tahun 2015. Semakin tinggi koefisien Gini, semakin timpang tingkat distribusi pendapatan.
Kalau kita amati lagi, suara lantang terkait diskriminasi, stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat juga muncul dari sejumlah kecil orang berada di lingkup politik kekuasaan. Pandangan, prasangka dan kebencian itu disebarkan melalui media apa pun dan dipaksakan menjadi kebenaran. Kebijakan publik juga diambil oleh para pemegang kekuasaan yang jumlahnya sangat kecil tetapi mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun dampak kebijakan itu harus ditanggung oleh rakyat.
***
Kalau pemahaman minoritas hanya dilihat dari sisi jumlah, maka gugurlah arti minoritas seperti yang diandaikan selama ini.
Meski istilah ‘minoritas’ sangat kuat untuk digunakan dalam memperjuangkan kesetaraan hak seperti tercantum pada Article 27 dari Kovenan Internasional Hal Sipil dan Politik serta Article 30 pada Konvensi Perlindungan Anak, dalam demokrasi di Indonesia istilah ‘minoritas’ secara politis digunakan untuk meliyankan yang lain, yakni kelompok-kelompok yang dianggap berbeda dari norma-norma arus utama; kelompok yang posisinya lemah secara sosial, ekonomi dan politik, sehingga suaranya lebih mudah dibisukan.
Sebagai warganegara, saya menolak penggunaan istilah ‘mayoritas-minoritas’ karena sejarah negeri ini tidak mengenal istilah itu. Bahkan di dalam Konstitusi disebutkan secara jelas mengenai kedudukan yang setara bagi setiap warganegara.
Pagi ini artikel B. Herry Priyono, “Bangsa yang Lupa Diri” (Kompas, Kamis 12 Januari 2016 hal. 6) sangat menohok, bahkan dari leadnya. Saya kutipkan:
Bangsa ini sedang lupa diri. Lupa diri dari apa? Perkaranya perlu ditunjuk selugas mungkin. Tata negara bernama Indonesia didirikan dengan ciri kondrati majemuk, beragam, bineka, baik agama, suku, mau pun ras. Artinya, tanpa kemajemukan, keragaman dan kebinekaan, tak ada Indonesia.
Kita melihat bagaimana agama, ras, etnis selalu menjadi basis dari politik identitas dalam politik kekuasaan, dan bisa dimainkan oleh pihak-pihak yang sedang bertarung untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat mana pun.
Selama bertahun-tahun kita menjadi saksi dari upaya-upaya untuk menyangkali kemajemukan bangsa ini. Kita menyaksikan perjuangan saudara-saudara kita penganut kepercayaan lokal, seperti Sunda Wiwitan, Kahringan, Marapu, Buhun, Kejawen, Tolotoang, dan yang lain-lain, untuk mendapatkan pengakuan negara.
Agama lokal Nusantara yang sangat beragam itu, entah mengapa, hilang atau dihilangkan atau pasca- Tragedi 65. Akan tetapi, kalau mendengarkan kesaksian penganutnya, hak sipil dan politik mereka sebagai warganegara akan dikembalikan kalau mereka menganut enam agama agama resmi yang diakui negara. Itu berarti mereka harus meninggalkan kepercayaan leluhur yang selama ini menjadi nafas mereka, dan menyatu dalam nilai-nilai dan tata hidup.
Kita juga menyaksikan bagaimana suku asli bersama bahasa dan kebudayaannya terus menerus terdesak oleh berbagai kebijakan dan kemudian lenyap. Suku asli penghuni rimba kehilangan wilayah permukimannya karena ekspansi agresif industri perkebunan berskala raksasa yang mengantungi restu pemerintah, untuk mengubah wilayah hutan menjadi perkebunan. Atas nama pembangunan dan pendapatan negara, banyak suku terus dimarjinalkan oleh kebijakan di sektor eksploitasi sumberdaya alam, khususnya pertambangan.
***
Dalam perspektif hak asasi manusia, istilah minoritas sangat terkait dengan pemarjinalan atau peminggiran yang terus menerus dan pengingkaran hak warganegara. Dalam konteks politik, istilah itu bisa digunakan untuk meliyankan kelompok lain. Tak sulit juga menengarai, istilah ‘minoritas’ juga mengacu pada ketimpangan relasi kuasa.
Dalam konteks itu, maka korban gusuran termasuk di antaranya, juga para pedagang sector informal. Padahal sektor informal merupakan kisi-kisi untuk bertahan dari guncangan ekonomi, selain menyelamatkan hidup dan menghidupi pergerakan ekonomi di tingkat bawah.
Para korban gusuran juga punya sejarah panjang menghuni suatu wilayah, mengembangkannya dan memberi kehidupan pada wilayah dan komunitasnya. Namun mereka terus distigmatisasi sebagai ‘penghuni liar’, penyebab banjir dan menjadi ‘klilip’ atau kotoran di mata para perencana kota atas nama keindahan, ketertiban dan kedisiplinan. Para pembuat kebijakan itu lupa pada sejarah pembentukan kota-kota di Indonesia yang sebenarnya merupakan aglomerasi kampung-kampung.
Penindasan bisa dilakukan terhadap kelompok lain, tetapi juga bisa juga terjadi di dalam satu kelompok. Tak sulit melihat contoh-contoh diskriminasi dan stigmatisasi atas dasar agama, etnis dan ras berbeda, tetapi hal sama juga bisa terjadi di dalam kelompok yang sama, seperti terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Diskriminasi dan stigmatisasi itu berdampak pada penolakan keberadaan mereka, dirampasnya hak ekonomi dan hak hidup serta hak-hak lain sebagai warganegara.
Pengalaman jurnalistik membawa saya menemui kelompok-kelompok miskin dari suatu etnis yang tidak diakui keberadaannya oleh kelompok etnisnya, tetapi juga ditolak oleh komunitas di mana dia hidup selama puluhan tahun.
Draft laporan penelitian mengenai masyarakat korban privatisasi transmigrasi dan kemitraan plasma menopang sektor industri perkebunan sawit di empat provinasi yang dilakukan oleh sahabat saya Sri Palupi dan kawan-kawan, membukakan mata tentang dahsyatnya praktik-praktik perampasan dan perampokan lahan dan pelanggaran hak hidup warganegara yang gemanya menguap di dalam politik kekuasaan. Nasib mereka adalah tanggungjawab masing-masing seakan-akan mereka hidup di hutan belantara yang mengesahkan perilaku yang kuat yang menang.
Negara tidak hanya tak hadir memberikan perlindungan, tetapi membiarkan semua itu terjadi, bahkan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dampaknya semakin melemahkan dan memarjinalisasi posisi korban. Hal itu sebenarnya merupakan kelanjutan dari kebijakan masa lalu, tetapi belakangan semakin agresif karena kebijakan yang semakin berpihak pada korporasi dan sistem ekonomi yang semakin meninggalkan yang paling lemah dan paling lambat.
Kita juga lihat laporan-laporan Jatam mengenai masyarakat korban tambang. Mereka hanya muncul sebentar di permukaan tetapi lalu ditelan hiruk pikuk angin politik kekuasaan. Bagaimana nasib mereka, tak ada yang tahu kalau media tak melaporkannya, dan
Perempuan kepala rumah tangga adalah kelompok berikutnya, yang selama puluhan tahun tak diakui keberadaannya, dirampas hak-haknya dan tertatih melangkah mempertahankan kehidupan anak-anaknya. Baru pada awal tahun 2000-an, Nani Zulminarni dan kelompok Pekka berjuang keras mengembalikan hak-hak mereka sebagai warganegara, memampukan dan memberdayakan mereka secara sosial, ekonomi, hukum dan politik.
Kelompok lainnya adalah korban kekerasan politik masa lalu yang tak pernah diselesaikan secara tuntas dan stigmanya terus dipelihara, anak-anak dan perempuan korban kekerasan rumah tangga dan kekerasan seksual yang hanya muncul di media ketika terjadi kekejian yang luar biasa, lalu disebut dalam pidato resmi, tetapi kemudian tak ada upaya serius untuk pemulihan mereka. Terutama, tak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan persoalan ini dari akarnya.
Kelompok lain adalah kelompok difabel, orang-orang dengan gangguan kejiwaan, perempuan korban perdagangan orang, perempuan yang dilacurkan, dan banyak lagi kelompok warganegara yang dihilangkan dalam hiruk pikuk politik kekuasaan.
***
Namun pemarjinalan yang paling telanjang terlihat pada kelompok dengan preferensi seksual yang dianggap berbeda dengan arus utama (heteroseksual), apalagi kalau sebelumnya sudah mengalami pemarjinalan karena hal-hal yang sudah dsiebutkan di atas. Mereka ini, dalam istilah feminis bell books berada di lapis terbawah dehumanisasi sistematis dari struktur penindasan.
Tak mudah menerima keberagaman dalam hal seksualitas, khususnya orientasi seksual. Lalu diskusi kita mengenai hal itu tiba pada isu seksualitas dan hak-hak seksual, yang menurut antropolog dari Universitas Amsterdam, Saskia Wieringa, berkaitan dengan apa yang disebut sebagai politik seksual.
Hak-hak seksual, mencakup penghapusan praktik-praktik atas nama tradisi seperti honor killing, mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), pemaksaan alat-alat kontrasepsi, tes keperawanan untuk pendidikan seks, pengakuan secara hukum mengenai otonomi seksual perempuan serta hak-hak asasi manusia kelompok lesbian, gay, biseksual, dan trans-gender (LGBT).
Seluruh produk Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait dengan hak-hak seksual senantiasa mendapat tantangan keras, khususnya dari AS, Vatikan, dan Organisasi-organisasi Negara Islam (OIC).
Notion “hak-hak seksual” pertama kali muncul dalam agenda internasional selama masa persiapan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Kairo, namun tak dapat diterima dalam konsensus final dokumen ICPD dan harus “dilunakkan” menjadi hak- hak reproduksi. Meski demikian, istilah hak-hak seksual tetap tercantum dalam dokumen ICPD.
Setahun kemudian, hak-hak seksual menjadi perdebatan keras dalam Konferensi IV tentang Perempuan dan Pembangunan di Beijing tahun 1995. Aliansi delegasi konservatif Islam dan Katolik sangat keras menentang istilah tersebut.
Dalam berbagai konferensi internasional pasca-Beijing, termasuk Sidang Khusus ke-59 dan 60 Komisi PBB mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 2003 dan 2004 serta Sidang ke-49 Komisi PBB mengenai Status Perempuan tahun 2005, terjadi pertentangan hebat dalam isu hak-hak seksual, pendidikan seks, aborsi, dan orientasi seksual.
Masalah seksualitas menjadi penting dalam isu fundamentalisme dalam berbagai bentuknya. Hak-hak atas kesehatan reproduksi dan seksual (SRHR) yang bersifat universal meminggirkan kelompok lesbian, gay, biseksual, transjender dan interseks (LGBTI). Mereka didiskriminasi, distigmatisasi bahkan dikriminalkan karena orientasi seksual dan identitas jendernya, serta menghadapi ancaman kekerasan dari kaum homofobia dan ekstremis transfobia.
Dalam isu orientasi seksual, 25 negara menolak mengakui orientasi seksual sebagai hak asasi manusia dalam Konferensi Beijing tahun 1995. Pada tahun 2003 dan 2004, resolusi yang diusulkan Brasil untuk melindungi dan mempromosikan hak seksual sebagai hak asasi manusia (HAM) pada Sidang ke-59 dan 60 Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia di Geneva, Swiss, menuai badai.
Pakistan, Arab Saudi, Malaysia, Libya, Mesir, dan Bahrain menolak keras, didukung Vatikan, Meksiko, dan Kosta Rika. Dalam suratnya, OIC mengimbau seluruh delegasi untuk melakukan voting terhadap resolusi itu dan mengklaim sebagai politically incorrect.
***
Namun keputusan bersejarah telah dibuat. Pada tanggal 30 Juni 2016, Konsil HAM PBB mengadopsi resolusi tentang perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender (SOGI). Resolusi ini menyusul dua resolusi sebelumnya yang diadopsi oleh Konsil HAM PBB tahun 2011 dan 2014.
Memang sulit untuk mengharpkan semua negara akan mengadopsi resolusi itu, tetapu setidaknya ada instrumen internasional untuk isu rumit yang hampir tak disentuh di ruang publik sehingga diskriminasi, stigmatisasi dan kekerasan terus berlangsung.
Identitas gender tidak sesederhana pandangan arus utama yang memisahkan identitas seksual secara tegas: laki-laki dan perempuan. Kajian jender dan seksualitas juga menjadi semakin rumit dengan masalah orientasi seksual. “Normal” dan “tidak normal” kemudian tergantung pada ideologi dan pemahaman yang lebih luas mengenai masalah itu.
Carol Queen dalam PoMo: Challenging about Gender and Sexuality (1997), menyodorkan pertanyaan tentang identitas, mencakup asumsi-asumsi mengenai gender dan seksualitas, konstruksi sosial dan dunia biner tentang gender dan seksualitas.
Menurut American Psychological Association (2006), identitas gender mengacu pada perasaan seseorang sebagai laki-laki, perempuan, atau transjender. Jika identitas jender dan seks tak selaras secara biologis, seseorang bisa diidentifikasi sebagai trans-seksual atau kategori transjender lain (Gainor, 2000).
Orientasi seksual mengacu pada ketertarikan secara seksual kepada jenis seks tertentu, termasuk ketertarikan kepada seks sejenis (gay dan lesbian), kepada jenis seks yang lain (heteroseksual), atau keduanya (biseksual).
Kategori-kategori itu digunakan secara luas dan berkelanjutan. Namun, riset juga menunjukkan, orientasi seksual tak selalu muncul dalam kategori-kategori yang bisa didefinisikan dan tidak berkelanjutan (Klein 1993, Klein, Sepekoff & Wolff 1985). Beberapa hasil penelitian menunjukkan, orientasi seksual bersifat cair bagi beberapa orang, khususnya perempuan (Diamond, 2007, Peplau & Garnets, 2000).
Dalam suatu pertemuan dengan aktivis remaja dengan identitas beragam dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (Yotha-PKBI) Cabang Yogyakarta, Tama, yang menyebut dirinya ‘’trans- man” (bukan lesbian) menjelaskan tentang istilah fake comfortability di kalangan remaja homoseksual.
Misalnya, pada masa tertentu seorang remaja merasa nyaman dengan identitas gender dan orientasi seksualnya sebagai lesbian, tetapi pada suatu masa ekspresi seksualnya ingin berubah dan bisa saja kemudian berhubungan dengan lawan jenis. Hal serupa juga bisa berlaku sebaliknya.
Dikotomi dalam hidup tak bisa diandaikan. Menurut Kinsey dalam Sexual Behavior in the Human Male (1948) dan Sexual Behavior in the Human Female (1953), perilaku seksual, baik yang secara sosial diterima maupun tidak diterima, heteroseksual atau homoseksual, adalah kenyataan. Hal yang disangkali ialah gradasi dari ujung ekstrem satu ke ujung ekstrem lainnya.
Kinsey menciptakan sistem klasifikasi yang mendeskripsikan sejarah seksual seseorang pada waktu tertentu, untuk menunjukkan kontinuitas gradasi dari sejarah perjalanan heteroseksual murni ke homoseksual murni. Skala dengan 7 peringkat itu menggambarkan gradasi tersebut secara lebih akurat. Itulah skala peringkat heteroseksual-homoseksual yang diciptakan Alfred Kinsey bersama Wardell Wardell Pomeroy dan Clyde Martin pada tahun 1948, yang kemudian dikenal sebagai Skala Kinsey.
Kalau mengacu pada Kinsey, ”koreksi” untuk ”meluruskan” orientasi seksual sesuai dengan yang dianggap ”normal” dalam norma arus utama, selain melanggar hak, juga sia-sia. Maka, kalau sebelumnya perjuangannya adalah menolak kekerasan terkait jender biner, sekarang menolak kekerasan terkait jender beragam.
***
Seksualitas senantiasa menjadi wilayah perdebatan paling serius dan medan kontestasi paling kritis. Dalam masyarakat di mana heteroseksualitas dipatuhi sebagai kebenaran tunggal yang tak perlu lagi digugat legitimasinya, kelompok nonheteroseksual dianggap sebagai “liyan”, bukan manusia “normal” sehingga layak ditindas, disingkirkan bahkan dikrimalkan.
Oleh karena itu, orientasi seksual pelaku tindak kriminal dari kelompok itu, seperti pernah dikemukakan pakar sosiologi komunikasi dari Universitas Diponegoro, Triyono Lukmantoro, adalah amunisi paling mudah ditembakkan media untuk menciptakan generalisasi negatif dan menebarkan prasangka terhadap kelompok nonheteroseksual.
Tekanan masyarakat membuat banyak anggota kelompok nonheteroseksual bersembunyi di balik kepalsuan ketika berada di ruang publik. Ia hanya bisa jujur dengan segenap keutuhan identitasnya kalau berada di ruang privat.
Heteroseksisme menjadi penilaian ideologis karena dalam masyarakat berlaku apa yang disebut feminis Adrianne Rich sebagai compulsory heterosexuality, yakni paksaan bagi subyek-subyek sosial untuk mematuhi hetero-seksualitas sebagai kebenaran abadi tak bisa digugat legitimasinya.
Pemaksaan heteroseksualitas tak hanya terjadi secara kasar (koersif), tetapi juga secara halus melalui hegemoni oleh kepemimpinan moral dan intelektual. Siapa pun yang ingin diakui “waras” dan “normal” harus mematuhi tatanan heteroseksualitas. Bias heteroseksisme telah menjalar memenuhi ruang publik, menciptakan sentimen-sentimen dalam masyarakat terhadap identitas seksual di luar heteroseksual.
***
Namun yang paling tajam adalah analisis Saskia Wieringa, penulis utama buku Heteronormativity: Passionate Aesthetics and Symbolic Subversion in Asia (2015) yang mengungkapkan faktor-faktor yang memproduksi kekerasan dalam rumah tangga dan membuat hal itu dipahami sebagai pola-pola normatif dalam keluarga di Indonesia dan India.
Kajian itu ditulis berdasarkan penelitian lapangan tahun 2005-2009, dibantu peneliti lapangan dari Indonesia dan India, mengupas lintas perjalanan hidup tiga kategori perempuan di Jakarta dan New Delhi. Yaitu, janda yang kehilangan suami karena perceraian atau kematian, perempuan yang dilacurkan, dan lesbian muda di perkotaan. Dua kota itu secara substantif berbeda dalam sistem politik, agama, dan norma sosialnya. Meski secara konstitusional bukan negara yang berdasarkan agama, agama berperan penting dalam kehidupan publik dan dalam berbagai aturan negara.
Dalam buku itu, Saskia bersama Abha Bhaiya (India) dan Nursyahbani Katjasungkana (Indonesia), memberi penekanan pada mekanisme dan perasaan subyektif yang mendapat status obyektif, yang menjelaskan konstruksi tertentu dari rezim heteronormativitas pada kedua negara itu.
Heteronormativitas merupakan bentuk dominan global yang implementasinya bergantung pada konteks dan perbedaan sosio-politik pada setiap komunitas, atau kelompok atau negara.
Asosiasi Gender dan Pendidikan Asia (GEA) mendefinisikan heteronormativitas sebagai istilah para pakar teori sosial untuk membahas bagaimana jender dan seksualitas dipisahkan ke dalam hierarki kategori. Wacana tentang heteronormativitas dikonstruksikan dan kemudian mendominasi lembaga- lembaga sosial, seperti keluarga, negara, dan pendidikan.
Norma ideal dalam rezim heteronormativitas adalah kawin, punya anak, tidak cerai, tidak berstatus janda, bukan pekerja seks, apalagi lesbian. Pemujaan pada model keluarga yang normatif itu mengabaikan kekerasan fisik dan simbolis di dalamnya.
Buku itu menunjukkan relasi kuasa di dalam norma, aturan, termasuk kelembagaan, undang- undang, dan praktik di antara keluarga, masyarakat, dan negara. Para pemimpin agama terus-menerus mereproduksinya atas nama moralitas.
Praktik-praktif heteronormatif menetapkan laki-laki sebagai lawan atau lebih tinggi dibandingkan perempuan; heteroseksual sebagai lawan dan lebih tinggi dari homoseksual. Rezim itu meminggirkan mereka yang berada di luar kategori heteronormatif, sekaligus meminggirkan mereka yang hidup di dalam norma itu.
Dengan demikian, heteronormativitas seperti pedang bermata dua sehingga memerlukan sistem kekerasan simbolik: menghukum orang-orang yang tereksklusi sekaligus mengontrol mereka yang hidup di dalamnya. Maka, meski dianggap normal dan natural, heteronormativitas memerlukan aturan- aturan untuk menegakkannya.
Hegemoni heteronormativitas, menurut Nursyahbani, menempatkan seseorang lebih tinggi dari orang yang lain meski sebenarnya mereka sama-sama menjadi korban dari sistem sosial, budaya, dan politik.
Sistem itu kemudian menciptakan kelas atau hierarki: janda mati lebih tinggi dari janda cerai, perempuan yang dilacurkan lebih tinggi daripada perempuan lesbian yang dianggap menjalani kehidupan seks tidak normal. Bahkan, infeksi HIV dari suami lebih tinggi dibandingkan dari hubungan seks sejenis (O’Brien, 1992, 1995). Jadi, meski masyarakat memandang rendah mereka, tetapi tidak ada solidaritas di antara mereka, karena hegemoni heteronormativitas membuat mereka merasa lebih normal atau lebih tinggi posisinya dibandingkan yang lain.
Sistem heteronormativitas sangat patriarkhal. Sistem ini bisa diubah kalau kita memahami cara kerjanya memproduksi berbagai bentuk kekerasan di dalam rumah tangga yang berlanjut di ruang publik. Maka, seperti dikatakan Saskia, politik seksual berpeluang membangun landasan filosofis dan psikologis yang lebih relevan tentang struktur relasi kuasa, melampaui kerangka konseptual yang sederhana dalam teori politik formal tradisional.
Politik seksual itu menurut ilmuwan feminis, Kate Millet dalam Sexual Politics (1970), sangat tajam mendefinisikan relasi- relasi atas dasar kontak personal dan antara anggota dari berbagai kelompok koheren, ras, kasta, klas, dan seks. Kelompok yang tidak terwakili dalam struktur politik cenderung akan terus mengalami penindasan.
Saat ini LBH APIK bekerja di enam provinsi untuk memastikan pemerintah memberi pelayanan publik kepada kelompok tereksklusi, baik karena identitas seksual, jender, maupun ”ketidaknormalan” lain, seperti kelompok difabel dan kelompok yang tersingkir secara politik (korban 65) dan kelompok-kelompok yang terus dimarjinalkan, yang sudah disebutkan di atas.
Pembangunan sosial yang inklusif ditekankan dalam agenda pembangunan pasca-2015, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Ini berarti, hak warganegara dari semua kelompok yang terus dimarjinalkan, harus dijamin dan mendapatkan perhatian serius dari negara melalui berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan selain.
***
Oleh: Maria Hartiningsih
(Dibacakan saat memberikan pidato kebudayaan dalam acara Rainbow Cultural Night)