“ Kebanyakan orang berpendapat bahwa laki-laki itu; harus tegap, pemberani, gagah, berkumis, menyukai sepak bola, pemimpin keluarga (termasuk wajib menafkahi keluarga), gak takut sama kecoak, gak khawatir kulitnya kena cahaya matahari, anti salon, dll. Sementara kalau perempuan itu; harus gemulai, lembut, berambut panjang dan bagus, rajin ke salon, bisa masak dan mengurus seribu urusan rumah tangga, dll. Biasanya, kalau ada laki-laki atau perempuan keluar dari deskripsi itu, mereka disebut aneh.”
Aku juga terkadang masih terjebak dengan konsep perempuan dan laki-laki seperti yang dipahami kebanyakan orang di atas. Hal itu bisa nampak dari hal-hal sederhana lho. Aku merasa aneh kalau tahu laki-laki takut sama kecoak contohnya. Aku jadi sadar kalau ternyata konsep diatas (masih) kuat. Ibaratnya, aku ini kayak ikan yang nggak sadar kalau hidup di air. Air yang dimaksud disini adalah konsep laki-laki dan perempuan tersebut yang kadung melingkupi pemikiran kita.
Aku mempunyai seorang sahabat transman (transgender perempuan ke laki-laki). Diam diam, aku cemburu padanya. Dia melewati proses berdiskusi dengan dirinya sendiri, berdamai dengan dilema tentang apa yang dipikirkan orang dan apa yang dia rasakan sesungguhnya. Kemudian mencari informasi secara mandiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dirinya. Ini gak mudah ternyata, aku tahu bagaimana dia harus telatenmasuk ke forum-forum komunitas dunia maya (kebanyakan dari luar negeri, karena di Indonesia belum ada), membaca jurnal penelitian internasional dan melakukan pemetaan untuk mendapatkan akses kesehatan seperti mencari psikiater, seksolog, dll.
Pengalaman menarik juga aku dapat sewaktu berproses menjadi fasilitator untuk sesi body image (citra tubuh) di Transmen Camp #1 belum lama ini. Selain berbagi, ada sesitouching healing. Sesi ini bertujuan untuk memberikan ruang komunikasi dengan tubuh melalui meditasi dan sentuhan tetapi tanpa memaksa mereka menerima dirinya – sebuah konsep yang susah diterima oleh seorang transman dimana situasi membuat ia merasa terjebak di tubuh yang salah.
Dalam sesi itu, aku melihat bahwa teman-teman transmen dapat berkomunikasi dengan tubuhnya kembali. Kenyataannya, konsep laki-laki dan perempuan yang selama ini ada, membuat diri dan tubuh mereka seperti musuh dalam selimut. Sebenarnya tidak hanya transmen yang bergesekan dengan konsep-konsep perempuan dan laki-laki, tapi setiap orang juga sebenarnya berjuang menghadapi konsep tersebut di luar sana.
Konsep peran berdasarkan gender mempengaruhi pikiran dan sikap kita terhadap orang lain, contohnya kepada transgender. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan orang mengharuskan laki-laki dan perempuan memiliki sifat dan sikap seperti konsep tersebut. Keharusan untuk mengikuti peran laki-laki dan perempuan itulah yang disebut ekspektasi gender. Ekspektasi gender ini kemudian menjadi salah satu sebab sulitnya penerimaan awam terhadap identitas transgender. Ekspektasi gender kepada Transman atau Female To Male, contohnya seperti di bawah ini ;
“Laki-laki kok masih keliatan payudara nya,” (ehem, padahal laki-laki emang punya payudara, cek saja penjelasan di biologi)
“Seharusnya kalau jadi mas itu berotot,” dan
“Katanya laki-laki kok suaranya masih kayak perempuan ?”
Ekspektasi gender kepada Transwoman atau Male To Female;
“Perempuan tapi kok dadanya rata,”
“Kalau nggak bisa hamil, bukan perempuan,” dan
“Perempuan tapi jalannya masih gagah ya.”
Contoh di atas bukan hanya sebuah penolakan, namun merupakan kekerasan lho. Ekspektasi gender yang menghakimi dan diiringi pemaksaan adalah sebuah kekerasan. Kekerasan dari ekspektasi gender ini bisa dilakukan oleh keluarga, masyarakat atau justru orang terdekat yang mengetahui identitas seorang transgender:
“Kamu mau kayak apa juga bakal kayak perempuan, mending kamu taubat atau aku laporin orang tua mu,”
“Laki-laki itu mesti gagah, gak ngondek,”
“Suaramu terlalu lembut sebagai laki-laki, percuma sudah pakai baju cowo sekalipun,”
“Laki-laki harus punya pacar perempuan, itu baru laki-laki,”
“Kamu tetap sahabat perempuanku,”
“Laki-laki harus menikah dengan perempuan,” dan
Sengaja memanggil “mbak”, padahal sudah mengetahui bahwa teman yang bersangkutan adalah transman.
Kekerasan yang terjadi karena ekspektasi gender dapat membuat seseorang merasa tidak baik, merasa tidak berharga, membatasi ruang sosialnya, depresi, bahkan dapat mendorong bunuh diri. Dalam beberapa kasus, keinginan memenuhi ekspektasi gender juga mendorong teman-teman transgender untuk mengkonsumsi obat-obatan/produk tanpa mengetahui efek sampingnya. Situasi ini diperparah karena tidak adanya keterbukaan informasi dan akses kesehatan untuk mereka.
Sudah saatnya kita belajar mengelola ekspektasi gender secara adil (tanpa penghakiman) agar dapat mencegah tindak kekerasan terhadap orang lain, terutama pada teman transgender. Kita perlu keluar dari apa yang cuma kita lihat dan bedakan dengan mata. Saatnya kita lebih mengenal seseorang karena apa yang dia kerjakan dan representasikan. Pengalamanku belajar dari proses teman-teman transgender justru memberikan banyak hal positif, salah satunya ialah mengenal diri dan tubuhku lebih dekat agar dapat menghargai orang lain dengan segala perbedaannya.
“Aku adalah perempuan, berkelamin perempuan, dan mudah bagi masyarakat menerimaku sebagai perempuan dibandingkan dengan sahabatku yang transgender. Ini merupakan keistimewaan yang begitu saja kudapat. Terima kasih sahabat, telah mengajarkanku bahwa keistimewaan dan identitas itu adalah sebuah perjuangan bukan (hanya) pemberian.”
oleh : @ketiktia