Aktifis Butuh Cinta

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

Sandra (merupakan tokoh ilustrasi) selalu mengidentifikasi dirinya sebagai seorang aktifis. Keterlibatannya dalam banyak kegiatan di bidang hak asasi manusia, termasuk dalam aksi-aksi unjuk rasa selalu menjadi bagian hidupnya. Ia juga banyak mendampingi korban-korban kekerasan, membantu mereka untuk mengatasi trauma setelah mengalami aksi kekerasan hingga mendampingi dalam proses hukum. Ia selalu terlihat sebagai sosok yang tegar, penuh semangat dan ceria. Namun, hanya sedikit yang tahu bahwa Sandra sendiri sedang berjuang dalam menghadapi major depression yang secara berkala membawa dirinya ke titik kelam dan terkadang membuatnya ingin mengakhiri hidupnya. Selama belasan tahun ia harus berjuang menghadapi masalah kesehatan mentalnya. Sebenarnya, Sandra tidak sendiri.

Melalui suatu pertemuan, seorang psikolog ternama di Indonesia menyatakan bahwa kebanyakan orang yang dilayani adalah aktifis. Lalu, apakah ini berarti bahwa aktifis umumnya mengalami gangguan mental? Tentu saja bukan itu yang dimaksud sang psikolog. Namun, Ia menyatakan ada satu standar pola pikir para aktifis yang umumnya sama, yakni memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Lalu di mana salahnya? Bukankah baik adanya jika lebih banyak orang berpikir untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan? Sang psikolog menjelaskan, tidak ada yang salah dengan niat maupun aksi untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Hanya saja, di sisi lain para aktifis punya kecenderungan untuk kemudian mengalami benturan secara emosi ketika menemukan bahwa nyatanya hidup itu penuh dengan ketidakadilan dan penyimpangan.

Lalu, apakah salah untuk menjadi seorang aktifis? Apakah kita tinggal diam saja jika menghadapi ketidakadilan maupun kejahatan? Apakah kita akan membiarkan hidup berjalan menurut standar kebanyakan orang saat di depan mata kita melihat banyak orang ditinggalkan, didiskriminasi bahkan mengalami kekerasan? Atau ketika kita melihat bumi dipenuhi sampah dan polusi oleh manusia dan industri? Apakah kita membiarkan saja semua kehancuran di depan mata itu terjadi? Apakah seperti ini maksud sang psikolog?

Tentu saja tidak ada yang salah untuk menjadi seorang aktifis dalam berbagai bidang. Semua hadir untuk tujuan yang baik. Namun, seperti digambarkan pada bagian bait pada sebuah lagu: “Aktifis[1] juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati.” Ya, benar. Aktifis adalah manusia. Manusia yang sudah dirancang untuk memiliki otak dan berjuta susunan saraf yang kemudian memicu reaksi emosional maupun logis. Tidak ada yang salah untuk menjadi aktifis, tidak ada yang salah juga untuk menjadi seorang aktifis yang sedang mengalami gangguan mental. Lalu apa yang salah? Tidak ada yang salah. Karena hidup bukan untuk menjawab apa yang benar dan apa yang salah.

Karena aktifis adalah manusia. Mari kita sedikit menelaah aspek so what kalau aktivis adalah manusia?

Melalui buku Self-Compassion, Kristin Nerf menggambarkan bahwa kualitas kehidupan seorang manusia ditentukan bahkan sejak dalam kandungan. Nerf menyatakan bahwa dalam sebuah studi ditemukan bahwa oxytocin—hormon cinta dan kedekatan sudah terbentuk sejak trimester pertama pada masa kandungan. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa semakin tinggi oxytocin yang dihasilkan maka akan meningkatkan rasa percaya, nyaman, aman, kedermawanan dan keterhubungan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa semua rasa ini lah kemudian yang akan memicu kemampuan seseorang untuk mengasihi diri sendiri (self-compassion). Ya, manusia butuh cinta.

Salah satu hal yang membuat Sandra tertarik untuk masuk ke bidang yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran adalah hasratnya untuk mengasihi dan merasa terhubung dengan penderitaan sesama manusia ataupun mahluk hidup yang lain. Sandra mampu merasakan rasa sakit mereka. Sandra selalu menyediakan hati dan pikirannya untuk mereka. Sandra pun merasa nyaman ketika berada di dekat orang-orang ataupun mahluk-mahluk yang tersisihkan maupun terbuang. Ya, banyak cinta diberikan Sandra.

Namun kemudian Sandra lupa, bahwa Ia sendiri butuh cinta. Ia tidak dapat mengharapkan cinta sejati dan seutuhnya dari pasangannya yang sering kali melakukan kekerasan verbal pada dirinya. Berkali-kali Ia harus mendengar bahwa dirinya adalah perempuan jelek. Berkali-kali ia ditolak justru ketika Ia membutuhkan kasih sayang. Berkali-kali pula Ia dikhianati. Di lingkungan keluarga pun Sandra merasa terasing karena sejak kecil Ia sadar berbeda melihat banyak hal dari saudara-saudaranya, maka Sandra sering merasa terasing. Ia lebih sering menghabiskan waktunya sendiri. Keluarganya tidak mampu memahami Sandra yang berbeda. Sandra merasa sendiri.

Lalu, siapa yang akan mengasihi Sandra? Sandra maupun banyak manusia sering lupa bahwa satu-satunya pribadi di dunia ini yang mengerti dan mampu mengasihi Sandra adalah dirinya sendiri. Salah satu faktor yang semakin memicu seseorang untuk semakin merasa sakit, sedih, gelisah dan semua rasa tidak nyaman lainnya adalah karena merasa terputus. Kita merasa malu dan takut karena apa yang kita alami dan rasa. Kita merasa tidak ada yang mengerti kita. Kemudian hal ini yang sering kali membuat kita ingin lari dari segala hal, kita mencoba untuk menghilangkan rasa dengan alkohol maupun obat-obatan, hingga kita ingin mengakhiri hidup.

Seorang aktifis sering kali mencurahkan energi dan pikirannya pada orang lain maupun kehidupan. Akan tetapi, seperti kebanyakan manusia, Ia sering lupa untuk mengasihi dirinya sendiri. Ia lupa bahwa Ia pun bisa merasa letih, sakit, sedih, gelisah dan butuh untuk dicintai. Seberapa sering kita mengatakan pada diri kita bawa kita menyayangi dan memperhatikan diri kita? Seberapa sering kita meluangkan waktu untuk benar-benar menyenangkan diri kita sendiri? Kita sering mencari cinta dari orang lain, tapi tanpa kita sadari bahwa kita lebih sering menghakimi diri sendiri ketimbang mengasihi diri sendiri.

Bukan, yang dimaksud dengan mengasihi diri tidak sama dengan menjadi egois (ataupun self-centered). Mengasihi diri bukan berarti untuk menjadikan diri kita sebagai pusat perhatian dunia. Ketika kita mengasihi diri, kita sadar bahwa kita memiliki kebutuhan akan cinta dari diri kita sendiri sama dengan manusia ataupun mahluk lain. Kapan terakhir kali kita menyatakan pada diri kita sendiri bahwa kita mengasihi diri kita sendiri? Kapan terakhir kali kita memeluk diri kita sendiri dan menangis ketika kita merasa sesak dan kemudian mengatakan pada diri sendiri bahwa apapun yang terjadi pada akhirnya semua akan baik-baik saja? Kapan terakhir kali kita menghibur diri kita yang kecewa ketika mengalami kegagalan dan membangkitkan semangat diri untuk mencoba kembali?

Seorang aktifis sering kali terjebak dalam ide bahwa dirinya harus lebih kuat dibanding orang-orang ataupun mahluk hidup yang ditolongnya. Ia memasukkan sebuah parameter semu sebagai bagian dari identitas dirinya. Sehingga, ketika ia merasa kecewa, sakit dan sedih maka ia akan mencoba untuk mengubur semua itu, bahkan mencoba menganalisa dan kemudian meluruskan setiap perasaan dengan kekuatan logika yang dimiliki. Ia lupa bahwa pada hakikatnya, emosi lahir dari reaksi kimiawi dari dalam otak dan tubuhnya. Ketika ada bahaya, maka susunan saraf pada amygdala, bagian otak kita yang bertugas untuk merespon ancaman akan memberi petunjuk berupa rasa tidak nyaman, gelisah untuk memberi peringatan untuk beraksi. Semua proses itu terjadi di dalam tubuh kita.

Ketika ada anjing yang menggeram dan menunjukkan barisan gigi yang tajam, secara otomatis reaksi tubuh kita akan merasa takut dan terancam. Itu merupakan reaksi alami. Ketika anjing tersebut ternyata berlalu dan membiarkan kita, maka kemudian secara otomatis kita akan merasa lega. Lalu kapan dapat kita katakan ketidaknyamanan yang kita rasakan merupakan gejala dari gangguan pada kesehatan mental? Jawabannya adalah ketika ancaman berlalu bahkan mungkin tidak ada namun kita masih merasa takut, kuatir, tidak aman dan gelisah.

Seperti halnya Sandra, ia tidak tahu mengapa dirinya selalu kuatir dan menilai rendah pada dirinya? Padahal Ia tidak melihat sungguh-sungguh ada ancaman di depannya. Ketika melewati jalan raya Ia tidak tahan dan merasa sedih saat melihat ada pengemis maupun kucing yang terlantar. Ketika tidur Ia takut mimpi-mimpi buruk akan datang, sehingga ia menjadi sulit tidur. Saat menyeberangi jalan, Ia terganggu melihat banyak orang yang melanggar aturan lalu lintas yang mengakibatkan jalan raya menjadi tidak aman untuk pejalan kaki, apa lagi untuk mereka yang akan menyeberang. Saat bertemu pasangan, Ia takut akan komentar negatif tentang dirinya.

Sementara itu, sebagai seorang aktifis Ia harus tampil kuat mendampingi para korban maupun mengikuti diskusi-diskusi tentang ketidakadilan. Ia sempat lupa bahwa Ia pun seorang manusia yang butuh untuk merasa dicintai. Ia butuh untuk merasa nyaman dan diterima. Beruntung Sandra kemudian sadar akan kebutuhan dirinya, dan menjangkau layanan kesehatan mental untuk membantu pemulihan dirinya. Di samping itu, Ia kini sadar bahwa Ia hanya seorang manusia yang butuh untuk dicintai, terutama dari dirinya sendiri. Mantra yang selalu Ia ucapkan adalah Aku Mencintai Diriku Sendiri, Apa Adanya.


Penulis : Nova Christina

[1] Dari lagu Rocker juga Manusia, oleh Serieus.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

RECENT ARTICLESS