Adakah Tempat Bagi Kelompok Minoritas Dalam RUU ADMINDUK?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

Pada saat ini sedang dibahas sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR-RI yang tidak tersentuh dari pantauan masyarakat, yaitu RUU tentang Administrasi Kependudukan (RUU-Adminduk). Rencananya RUU ini akan segera disahkan sebelum akhir 2006. Secara umum tujuan dari RUU ini adalah untuk menata dan menertibkan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencacatan sipil, pengelolaan informasi penduduk serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Pertanyaannya sekarang apakah RUU Adminduk ini dapat menjangkau pemenuhan hak kelompok minoritas akan dokumen kependudukan.Di dalam Pasal 2 RUU Adminduk telah dijelaskan bahwa “Setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh :

  1. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil;
  2. Dokumen kependudukan;
  3. Perlindungan atas data pribadi;
  4. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
  5. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan
  6. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat penyalahgunaan data pribadi oleh Instansi Penyelenggara.”

Kemudian yang menjadi dasar diterbitkannya suatu dokumen kependudukan bagi setiap penduduk adalah peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang wajib dilaporkan oleh setiap penduduk kepada Instansi Penyelenggara. Adapun yang dimaksud dengan peristiwa kependudukan dalam RUU ini adalah kejadian yang dialami penduduk yang harus dilaporkan karena membawa implikasi terhadap penerbitan atau perubahan KK, KTP dan/atau Surat Keterangan Kependudukan lainnya meiputi pindah datang, perubahan alamat, tinggal sementara, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.

Pejelasan pasal 2 di atas sekilas terlihat telah mengakomodir hak-hak semua warga negara atas status dan kepemilikan dokumen kependudukan. Namun apabila kita melihat penjelasan tentang peristiwa kependudukan dan peristiwa penting di atas terlihat ada beberapa kelompok minoritas di Indonesia yang tidak akan terakomodir hak-haknya. Salah satu kelompok minoritas yang luput dari pemikiran anggota DPR-RI yang terlibat dalam Panitia Kerja (Panja) RUU Adminduk adalah kelompok waria. Hal tersebut disebabkan karena tidak ada satupun kalimat di dalam definisi peristiwa kependudukan ataupun peristiwa penting yang menyatakan bahwa orientasi seksual minoritas ataupun perubahan kelamin termasuk kedalam peristiwa kependudukan ataupun peristiwa penting. Sehingga hal itu akan berdampak terhadap proses kepemilikan dokumen kepen- dudukan bagi kelompok waria.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Forum Komunikasi Waria (FKW) Jakarta, hampir 70 % waria yang tinggal di Jakarta tidak memiliki dokumen kependu- dukan seperti KTP. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

  1. Perubahan nama;
  2. Perubahan alamat akibat perpindahan tempat tinggal;
  3. Status gendernya atau sering disebut sebagai gender ke-3 (waria);
  4. Tidak memiliki atau membawa surat-surat atau dokumen-dokumen kependudukan asal mereka.

Permasalahan dokumen kependudukan yang dihadapi oleh kelompok waria sangat menyedihkan mengingat jumlah waria yang tinggal di Jakarta sampai dengan tahun 2006 sudah mencapai angka 4000 Jiwa. Belum lagi dampak yang akan muncul terhadap waria yang tidak memiliki dokumen kependudukan seperti KTP. Contoh yang paling sering terjadi adalah ketika ada seorang waria yang tidak memiliki KTP meninggal dunia. Ketidakjelasan asal-usul, nama, umur, alamat sering dipermasalhakan oleh instansi-instansi yang terkait dengan pendataan kematian penduduk.

Memang di dalam pasal 59 RUU Adminduk telah diatur mengenai perubahan nama. Namun proses yang harus dilakukan oleh seorang waria yang ingin merubah namanya sangat panjang, seperti harus mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri setempat dan harus melaporkan penetapan tersebut kepada Instansi penyelenggara. Proses tersebut sangat tidak masuk akal dilakukan oleh para waria mengingat sebagian besar dari mereka dating dari keluarga menengah kebawah.

Mengenai perubahan alamat juga telah diatur dalam Pasal 15 RUU Adminduk. Namun perubahan alamat tersebut hanya dikhususkan apabila terjadi pemekaran wilayah atau pembangunan yang dapat menyebabkan perubahan alamat seseorang. Kemudian mengenai perpindahan tempat tinggal juga telah diatur dalam Pasal 16 RUU Adminduk. Namun proses yang harus dilalui lagi-lagi sangat panjang, seperti harus melapor kepada Instansi Penyelenggara di daerah asal dan harus mendapatkan surat keterangan pindah dating dari dari daerah asal. Lalu bagaimana dengan nasib para waria yang telah puluhan tahun tinggal di Jakarta dan tidak memiliki surat keterangan pindah ataupun dokumen- dokumen kependudukan lainnya dari daerah asal mereka. Ketentuan Pasal 16 tersebut akan menjadi permasalahan tersendiri bagi para waria.  Bagaimana tidak ?, sebagian besar waria yang tinggal di Jakarta berasal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Mereka melakukan urbanisasi dengan maksud melarikan diri dari keluarga ataupun masyarakat tempat tinggal semula. Hal itu mereka lakukan karena keluarga ataupun masyarakat tempat tinggal semula mereka tidak dapat menerima kenyataan perubahan gender yang dialami oleh para waria. Selain itu, semua waria yang melarikan diri ke kota-kota besar seperti Jakarta merupakan waria-waria belia (dibawah 17 tahun) dan banyak yang putus sekolah. Alasan-

alasan itulah yang menyebabkan mereka belum mempunyai KTP dan tidak dapat membawa dokumen kependudukan apapun ataupun melapor dan meminta surat keterangan pindah ketika mereka melarikan diri ke kota-kota besar.

Selanjutnya mengenai status kewariaan mereka tidak tersentuh ataupun dibahas sedikitpun di dalam RUU Adminduk. Memang di dalam Pasal 27 RUU Adminduk diatur mengenai pendataan penduduk rentan administrasi kependudukan. Namun ketentuan tersebut hanya diperuntukan bagi penduduk korban bencana alam, penduduk korban kerusuhan sosial, anak terlantar, dan komunitas adat terpencil saja. Sedangkan kelompok minoritas lain seperti waria tidak diatur di dalam pasal tersebut.

Pada tahun 1992-1997, Heni (39), Ketua FKW Provinsi Papua berhasil memperjuangkan pencantuman “waria” pada kolom-kolom KTP. Padahal, jelas kolom-kolom itu hanya menganut “ideologi” seksualitas biner: perempuan atau lelaki. Tidak ada tempat bagi waria. “Kami ngotot sampai mendatangi Pak Camat untuk meminta pencantuman kata ‘waria’ di dalam KTP kami, dan itu diterima,” tutur Heni yang bernama asli Lucky Morse. KTP bagi kaum waria, bukanlah sekadar kartu pengenal yang bisa dimanfaatkan untuk bepergian. Bukan pula sekadar penanda identitas yang proses pengurusannya bisa dibeli. Tetapi, telah menjadi selembar harapan baru bagi pengakuan sebuah kenyataan seksualitas manusia. Bahwa selain lelaki dan perempuan, di antaranya masih ada waria. Waria di Papua sebenarnya menolak tegas dikelompokkan ke dalam perempuan. Implikasi dari pengakuan itu, kata Heni, kaum waria di Papua sudah diizinkan bekerja atau pergi kuliah dengan mengenakan pakaian perempuan. “Hanya sampai sekarang belum bisa kerja sebagai pegawai negeri,” katanya (Kompas, Minggu, 7 April 2002).

Sangat disayangkan bahwa hal yang terjadi di Papua tersebut hanyalah bersifat kasuistik dan tidak bersifat nasional. Kebijakan yang diberikan oleh Pemda setempat juga hanya berupa kebijakan tidak tertulis. Kebijakan itu sangat rawan dan ada kemungkinan berubah ketika terjadi pergantian pejabat-pejabat yang mengeluarkan kebijakan seperti itu.

Berdasarkan beberapa hal di atas saya berharap bahwa DPR-RI segera mempertimbangkan dampak negatif yang akan muncul bagi waria ketika RUU Adminduk ini disahkan. Sehingga sudah selayaknya apabila hak-hak kelompok waria diakomodir dalam RUU Adminduk demi tercapainya tujuan disahkannya RUU Adminduk sebagai upaya penataan dan penertiban dokumen dan data kependudukan.

Rido Triawan-Ketua Arus Pelangi
Jakarta, Oktober 2006.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram

RECENT ARTICLESS